Yang Bukan Dimaksud Dengan Kepengarangan Dalam Resensi Buku Adalah – The Best Critical Thinkers

Yang Bukan Dimaksud Dengan Kepengarangan Dalam Resensi Buku Adalah – PROBLEMATIKA NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA – Pengadilan Agama Kotabumi

Kami berharap semoga dengan adanya website ini bisa memberi dampak positif di masyarakat untuk memberikan akses informasi bagi para pencari keadilan.

Yang Bukan Dimaksud Dengan Kepengarangan Dalam Resensi Buku Adalah

Yang Bukan Dimaksud Dengan Kepengarangan Dalam Resensi Buku Adalah - The Best Critical Thinkers

Aplikasi yang disediakan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, untuk melaporkan suatu perbuatan berindikasi pelanggaran yang terjadi di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia atau Peradilan dibawahnya.

Apa Itu Sumber Energi Terbarukan Tak Terbarukan Serta Contohnya

Peluncuran 9 Aplikasi oleh Ketua Mahkamah Agung RI: Prof. Dr. H. Muhammad Hatta Ali, SH, MH.; serta Presentasi 9 Aplikasi oleh Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama: Dr. Drs. Aco Nur, S.H., M.H.

Aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), merupakan aplikasi administrasi dan penyediaan informasi perkara baik untuk pihak internal pengadilan, maupun pihak eksternal pengadilan. Pengunjung dapat melakukan penelusuran data perkara (jadwal sidang sampai dengan putusan) melalui aplikasi ini.

Adalah layanan bagi Pengguna Terdaftar untuk Pendaftaran Perkara Secara Online, Mendapatkan Taksiran Panjar Biaya Perkara secara online, Pembayaran secara online dan Pemanggilan yang dilakukan dengan saluran elektronik. || e-Filing (Pendaftaran Perkara Online di Pengadilan) || e-Payment (Pembayaran Panjar Biaya Perkara Online) || e-Summons (Pemanggilan Pihak secara online).

Pengadilan Agama Kotabumi mendukung sikap anti korupsi. Laporkan segala tindakan korupsi ke https://siwas.mahkamahagung.go.id

Menjadi salah satu progam prioritas, Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) di lingkungan Peradilan Agama

Home > Artikel PA Kotabumi > PROBLEMATIKA NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Pengadilan Agama memberikan kemudahan akses informasi jadwal sidang untuk para pihak yang sedang berperkara.

Melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), anda akan mengetahui tahapan, status dan riwayat perkara.

Publikasi putusan sebagai bentuk keterbukaan informasi dan layanan kepada masyarakat dalam mengakses putusan.

Estimasi panjar biaya yang dibayar oleh pihak yang berperkara dalam proses penyelesaian suatu perkara.

Merupakan layanan bagi Pengguna Terdaftar untuk Pendaftaran Perkara Secara Online, taksiran panjar biaya perkara dan pembayaran online serta pemanggilan secara elektronik.

PENETAPAN INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) PADA PENGADILAN TINGKAT BANDING DAN PENGADILAN TINGKAT PERTAMA DI LINGKUNGAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Rapor Kinerja Penanganan Perkara SIPP pada Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding Periode 08 April 2022 | (14/4)

Syarat Tambahan Menghafal Al Quran Seleksi Calon Panitera Pengganti (CPP) Tahun 2022 | (13/4)

PA KOTABUMI MENGIKUTI ACARA PENANDATANGAN MoU ANTARA DITJEN BADILAG DENGAN UNIVERSITAS ISLAM INTERNASIONAL INDONESIA (20/4/2022)

DISKUSI HUKUM HAKIM PENGADILAN AGAMA SEWILAYAH PTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2022 (14/4/2022)

KESEKRETARIATAN PA KOTABUMI MENGIKUTI WEBINAR PENGANGGARAN PENGADILAN BERBASIS KINERJA (14/4/2022)

EFEKTIVITAS PENERAPAN PELAYANAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH

MEMPERINGATI 130 TAHUN PERADILAN AGAMA: MENERAWANG PERADILAN KELUARGA DI INDONESIA

Pada suatu sore hari Jumat tanggal 30 Oktober 2009, pimpinan memberi tugas kepada penulis untuk membuat sebuah tulisan tentang problematika nikah sirri. Tulisan tersebut harus sudah selesai hari Senin pagi tanggal 2 Nopember 2009 karena akan dibawa oleh pimpinan ke dalam forum rapat kerja Pengadilan Agama se Sumut tahun 2009. Atas perintah tersebut penulis merasa mendapat kehormatan sekaligus tantangan, sehingga dengan segala keterbatasan dan minimnya waktu, penulis berusaha sedemikian rupa sehingga tersusunlah makalah yang sangat sederhana ini. Namun demikian penulis berharap bahwa sumbangan pemikiran yang sedikit dan sederhana ini dapat memberi kontribusi sebagai makalah pembanding dari sekian banyak aneka ragam makalah atau pemikiran yang telah ada tentang problematika nikah sirri, yang dalam hal ini penulis beri judul:

Pernikahan bagi umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasar akad nikah yang diatur dalam undang-undang dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Pernikahan adalah ikatan yang sangat kuat atau

untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Oleh karena itu, untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan itu, maka perkawinan atau pernikahan bagi umat Islam hanya sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara.

Dalam perspektif hukum positif di Indonesia, perkawinan atau pernikahan bagi umat Islam, di samping harus dilakukan menurut hukum Islam, juga setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan dan dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (vide Ps. 2 UU No.1/1974 jo. Ps.2 (1) PP. No.9/1975).

Pada kenyataannya tidak semua umat Islam Indonesia mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga masih ada di antara masyarakat muslim dengan berbagai alasan melakukan pernikahan di bawah tangan, dalam arti pernikahan tersebut tidak dicatat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Fenomena semacam ini dalam masyarakat kita lebih dikenal dengan istilah nikah sirri.

Dalam bahasa Indonesia istilah pernikahan sering disebut juga perkawinan. Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.

yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (

), juga untuk arti akad nikah. Sedangkan kata Sirri berasal dari bahasa Arab “

yang berarti rahasia. Dengan demikian beranjak dari arti etimologis, nikah sirri dapat diartikan sebagai pernikahan yang rahasia atau dirahasiakan. Dikatakan sebagai pernikahan yang dirahasiakan karena prosesi pernikahan semacam ini sengaja disembunyikan dari public dengan berbagai alasan, dan biasanya dihadiri hanya oleh kalangan terbatas keluarga dekat, tidak dipestakan dalam bentuk resepsi

Apabila kita berpedoman dari pengertian etimologis nikah sirri sebagaimana tersebut di atas, maka setidaknya ada 3 (tiga) bentuk atau model nikah sirri yang dilakukan dalam masyakat, yaitu:

: pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita yang sudah cukup umur yang dilangsungkan di hadapan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah namun hanya dihadiri oleh kalangan terbatas keluarga dekat, tidak diumumkan dalam suatu resepsi

. Pernikahan model ini sengaja dilakukan secara diam-diam (sirri) dengan alasan misalnya calon suami isteri tersebut dua-duanya mendapat tugas belajar S2 ke luar negeri secara mendadak, sehingga untuk menjaga kehalalan hubungan mereka selama menjalani studi mereka segera dinikahkan secara sederhana di hadapan PPN.

, pernikahan antara seroang pria dan seorang wanita yang masih di bawah umur menurut undang-undang, kedua-duanya masih bersekolah. Pernikahan ini atas inisiatif dari orang tua kedua belah pihak yang sepakat menjodohkan anak-anak mereka dengan tujuan untuk lebih memastikan perjodohan dan menjalin persaudaraan yang lebih akrab. Biasanya setelah akad nikah mereka belum kumpul serumah dulu. Setelah mereka tamat sekolah dan telah mencapai umur perkawinan, lalu mereka dinikahkan lagi secara resmi di hadapan PPN yang menurut istilah jawa disebut “

. Pernikahan semacam ini pernah terjadi di sebagian daerah di Jawa Tengah pada tahun 1970an ke bawah.

, model pernikahan antara seroang pria dan seroang wanita yang sudah cukup umur menurut undang-undang akan tetapi mereka sengaja melaksanakan perkawinan ini di bawah tangan, tidak dicatatkan di KUA dengan berbagai alasan. Pernikahan ini mungkin terjadi dengan alasan menghemat biaya, yang penting sudah dilakukan menurut tatacara agama sehingga tidak perlu dicatatkan di KUA. Atau mungkin, walaupun orang kaya akan tetapi tidak mau repot dengan berbagai macam urusan aministrasi dan birokrasi sehingga lebih memilih nikah sirri saja. Pernikahan semacam ini juga mungkin terjadi, misalnya dalam beberapa kasus kawin poligami liar, pernikahan dilaksanakan tidak di hadapan dan dicatat oleh PPN karena tanpa sepengetahuan isteri pertama.

Dari tiga model pernikahan sirri tersebut di atas, pernikahan sirri model terakhir adalah yang paling relevan dengan topic bahasan dalam tulisan ini. Dengan demikian, yang dimaksud dengan

dalam tulisan ini ialah suatu pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama atau dengan kata lain disebut dengan Nikah di bawah tangan.

Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa segolongan fuqaha’, yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukukmnya sunnah. Golongan zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah mutaakhirrin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnah (mandub) dan adakalanya mubah. Ulama Syafiiyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, di sampkng ada yang sunnat, wajib, haram dan makruh. Di Indonesia umumnya memandang hukum asal melakukan perkawinan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi oleh pendapat ulama Syafi’iyah. Untuk mengetahui lebih jelas status masing-masing hukum nikah sesuai dengan kondisi

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada rasionalitas hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang. Jikan penjagaan diri itu harus dengan melakukan pernikahan, sedangkan menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan pernikahan itu wajib sesuai dengan kaidah:

Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukum wajib juga.

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnah.

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehigga bila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan isterinya, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya terfgelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami isteri dengan baik.

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak dikhawatirkan akan berbuat zina dan bila melakukannya juga tidak akan menterlantarkan isteri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.

Kalau kita perhatikan uraian tentang hukum keadaan orang menikah yang terdiri dari lima kategori hukum tersebut di atas, tidak ditemukan bahasan larangan hukum nikah sirri atau nikah di bawah tangan. Dengan demikian, hukum pernikahan sirri pada dasarnya juga tidak terlepas dari kategori hukum perkawinan tersebut, yaitu adakalanya wajib, sunnah, makruh dan sunnah. Sedangkan keadaan “sirri” dalam arti tidak dilangsungkan dan dicatatkan di hadapan PPN bukan menjadi factor penyebab sah atau tidaknya suatu perkawinan tersrebut.

Apabila kondisi seperti ini dihubungkan dengan ketentuan hukum perkawinan di Indonesia, tentu tidak sejalan dengan semangat ketentuan hukum positif Indonesia yang menentukan bahwa perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut tatacara agamanya juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang (vide Ps. 2 ayat (1) dan (2) UU No.1 Th.1974, jo. Ps. 4 dan Ps.5 ayat (1) dan (2) KHI. Permasalahannya adalah, bagaimanakah penerapan hukum perkawinan terhadap masayarakat muslim Indonesia, dan bagaimana kedudukan nikah sirri dalam perspektif hukum positif Indonesia?

Untuk membahas permasalahan atau problematika nikah sirri dalam perspektif hukum positif di Indonesia, perlu kita telaah dua hal pokok yakni factor penyebab nikah sirri dan kedudukan hukum nikah sirri dalam perspektif hukum positif.

Fenomena pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri bagi umat Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah keatas. Kondisi demikian terjadi karena beberapa factor yang melatarbelakanginya. Tentu saja untuk mengetahui berapa besar persentase pelaku nikah sirri dan factor apa saja yang menjadi pemicu terjadinya pernikahan sirri tersebut masih memerlukan penelitian yang seksama. Akan tetapi secara umum nikah sirri dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu:

Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum memahami sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun dalam kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka; menganggapnya sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat; atau pencatatan perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal administrasi; belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat dari pencatatan perkawinan tersebut.

Permasalahannya ialah, mengapa begitu rendah kesadaran hukum sebagian masyarakat kita, dan bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kesadaran hukum bagi mereka, semua itu tentu merupakan tanggung jawab kita bersama. Kalau suatu kelompok masyarakat dalam suatu wilayah hukum di Indonesia belum mempunyai kesadaran hukum yang tinggi, hal ini tentu bukan semata-mata kesalahan masyarakat itu sendiri melainkan juga disebabkan kurang maksimalnya peran dan upaya lembaga pemerintahan yang ada, dalam hal ini Departeman Agama dan Pemerintah Daerah setempat kurang intensif memberikan edukasi terhadap masyarakat tentang betapa pentingnya mencatatkan perkawinan mereka.

Di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, rendahnya kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya mencatatkan perkawinan dapat kita lihat di beberapa desa yang mayoritas penduduknya muslim di Kecamatan Pahae Jae, ternyata ada banyak masyarakat yang perkawinannya tidak dicatat oleh KUA setempat. Hal ini dapat diketahui dengan jelas, dengan banyaknya masyarakat yang mengajukan permohonan

ke Pengadilan Agama setempat untuk mendapatkan pengesahan perkawinan mereka secara hukum Negara.

Banyaknya perkara permohonan isbat nikah tersebut tidak terlepas dari usaha pimpinan Pengadilan Agama Tarutung yang telah berupaya mengadakan penyuluhan hukum terutama di daerah kecamatan tertentu yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam yaitu di Kecamatan Pahae Jae. Melihat antusiasme masyarakat untuk mendapatkan pegnesahan nikah mereka di Pengadilan Agama setelah memperoleh pemahaman hukum tersebut, menunjukkan bahwa kesadaran hukum masyarakat justeru mulai bangkit. Diharapkan dimulai dari meningkatnya kesadaran tersebut merupakan awal yang baik bagi terciptanya kesadaran masyarakat secara keseluruhan di kawasan daerah tersebut. Karena dengan kesadaran ini setidaknya kalau mereka menikahkan anak-anaknya nanti tidak akan mengulangi lagi kesalahan yang sama yang pernah mereka lakukan.

Dengan demikian, rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat seperti itu perlu ditingkatkan melalui kegiatan penyuluhan hukum baik secara formal yang dilakukan oleh lembaga instansi terkait maupun secara informal melalui para penceramah di forum pengajian majelis ta’lim dan lain sebagainya.

Pengertian Budidaya Manfaat Jenis Budidaya

Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh terhadap ketentuan peraturan yang menyangkut perkawinan. Kasus pernikahan Syekh Puji dengan perempuan di bawah umur bernama Ulfah sebagaimana terkuak di media massa merupakan contoh nyata sikap apatis terhadap keberlakuan hukum Negara. Dari pemberitaan yang ada, dapat kita pahami terdapat dua hal yang diabaikan oleh Syekh Puji yaitu,

pernikahan tersebut merupakan poligami yang tidak melalui izin di pengadilan, dan

beliau tidak mau mengajukan permohonan dispensasi kawin meskipun sudah jelas calon isteri tersebut masih di bawah umur.

, sungguh merupakan hambatan besar bagi terlaksananya keberlakuan hukum. Karena apa yang dilakukan oleh seorang tokoh biasanya akan dicontoh oleh mereka yang mengidolakannya. Oleh karena itu penanganan secara hukum atas kasus yang menimpa Syekh Puji adalah tepat agar tidak menjadi preseden yang buruk bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang berusaha memposisikan supremasi hukum.

Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974 merupakan azas pokok dari sahnya perkawinan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat alternative sahnya suatu perkawinan. Dari fakta hukum dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.

Itulah sebabnya beberapa tahun terakhir pemerintah telah membuat RUU Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan yang sampai saat ini belum disahkan di parlemen. Dalam RUU tersebut kewajiban pencatatan perkawinan dirumuskan secara tegas dan disertai sanksi yang jelas bagi yang melanggarnya.

Pasal 4 RUU menegaskan: setiap perkawinan wajib di catat oleh PPN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pasal 5 ayat (1) menyatakan: untuk memenuhi ketentuan pasal 4, setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan PPN. Kewajiban pencatatan sebagaimana ketentuan pasal 4 dan pasal 5 ayat (1) tersebut disertai ancaman pidana bagi yang melanggarnya.

Ketentuan pidana yang menyangkut pelanggaran pencatatn perkawinan tersebut dinyatakan dalam Pasal 141 RUU tersebut menyebutkan: setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukumuan kurungan paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal 145 RUU menyatakan: PPN yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).

Pasal 146 RUU menyatakan: setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai PPN dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Yang Bukan Dimaksud Dengan Kepengarangan Dalam Resensi Buku Adalah - The Best Critical Thinkers

Dengan demikian, ketidak-tegasan ketentuan pencatatan dalam undang-undang yang berlaku selama ini masih memberi ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat yang melakukannya dan menjadi salah satu factor penyebab terjadinya pernikahan sirri.

UU No.1/1974 menganut azas monogami, akan tetapi masih memberikan kelonggaran bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk melakukan poligami (salah satunya agama Islam) dengan persyaratan yang sangat ketat. Seseorang yang hendak melakukan poligami hanrus memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternative yang ditentukan secara limitative dalam undang-undang., yaitu:

Sebaliknya pengadilan akan mempertimbangkan dan akan memberi izin poligami bagi seseorang yang memohonnya apabila terpenuhi syarat kumulatif sebagai berikut:

adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-siteri dan anak-anak mereka;

adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka;

Yang dimaksud mampu menjamin keperluan hidup bagi isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat relative sifatnya. Demikian pula suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat subjektif sifatnya, sehingga penilaian terhadap dua persyaratan tersebut terakhir akan bergantung pada rasa keadilan hakim sendiri.

Bila kita telaah sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat tersebut di atas oleh seorang suami, maka hal tersebut dapat menimbulkan: perkawinan “

” adalah perkawinan yang pelangsungannya secara sah memenuhi syarat, akan tetapi terdapat cacat yuridis di dalamnya. Misalnya seorang calon suami dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka atau menggunakan izin palsu.

Ketatnya izin poligami juga menyebabkan yang bersangkutan lebih memilih nikah di bawah tangan atau nikah sirri karena pelangsungan (tata cara) pernikahan di bawah tangan lebih sederhana dan lebih cepat mencapai tujuan yaitu kawin itu sendiri.

Khusus bagi pegawai negeri baik sipil maupun militer, untuk dapat poligami kecuali harus memenuhi syarat tersebut di atas juga harus memperoleh izin atasan yang berwenang, sesuai dengan PP No.10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS jo. PP 45/1990.. Demikian pula bagi TNI harus memperoleh izin dari atasannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga bagi yang bersangkutan wajib menempuh proses panjang.

Sulit dan lamanya proses serta hambatan berupa birokrasi dalam pemberian izin memang bertujuan untuk memperkuat secara selektif akan perkenan poligami bagi PNS serta menghindari kesewenang-wenangan dalam hal kawin lebih dari satu, sehingga PNS diharapkan jadi contoh dan teladan yang baik sesuai dengan fungsinya sebagai abdi Negara dan abdi masyarrakat. Akibat larangan berpoligami atau sulitnya memperoleh izin poligami justru membuka pintu pelacuran, pergundikan, hidup bersama dan poligami illegal.

Menurut Soetojo, dengan berlakunya UU 1/1974 angka kawin lebih dari satu (poligami: Pen) menunjukkan menurun drastis namun poligami illegal dengan segala bentuknya semakin banyak, yang disebabkan oleh:

2. bagi mereka yang terikat oleh pengetatan tertentu karena kedinasannya dibayangi oleh rasa takut kepada atasan di samnping prosedurnya yang terlalu lama dan sulit;

1. hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah dan sering dikenal dengan sebutan: hidup bersama, pergundikan, wanita simpanan;

Hasil penelitian Soetojo tersebut terakhir menunjukkan bahwa ketatnya izin poligami merupakan salah satu factor timbulnya pernikahan di bawah tangan, atau pernikahan yang tidak dicatat, alias nikah sirri.

Dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, nikah sirri merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana kita pahami bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1/1974 Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, dalam perspektif peraturan perundang-undangan, nikah sirri adalah pernikahan

Bagi kalangan umat Islam Indonesia, ada dua persyaratan pokok yang harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif yang menjadikan perkawinan mereka sah menurut hukum positif, yaitu: pertama, perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam, dan kedua, setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh PPN sesuai UU No.22/1946 jo. UU No.32/1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya salah satu dari ketentuan dalam pasal 2 tersebut menyebabkan perkawinan batal atau setidaknya cacat hukum dan dapat dibatalkan.

Akan tetapi kalau ketentuan pasal tersebut masih dipahami sebagai syarat alternative, maka perkawinan dianggap sah meskipun hanya dilakukan menurut hukum agama dan tidak dicatatkan di KUA. Permasalahan hukum mengenai sah atau tidaknya suatu perkawinan yang tidak dicatatkan akan selalu menjadi polemic berkepanjangan bila ketentuan undang-undangnya sendiri tidak mengaturnya secara tegas. Dalam arti kewajiban pencatatan tersebut harus dinyatakan secara tegas dan disertai sanksi bagi yang melanggarnya.

Bagi umat Islam, kepentingan pencatatan itu sendiri sebenarnya mempunyai dasar hukum Islam yang kuat mengingat perkawinan adalah suatu ikatan perjanjian luhur dan merupakan perbuatan hukum tingkat tinggi. Artinya, Islam memandang perkawinan itu lebih dari sekedar ikatan perjanjian biasa. Dalam Islam, perkawinan itu merupakan perjanjian yang sangat kuat (

). Bagaimana mungkin sebuah ikatan yang sangat kuat dipandang enteng? Mengapa logika sebagian umat Islam terhadap wajibnya pencatatan perkawinan seperti mengalami distorsi? Perlu kita yakinkan kepada umat Islam bahwa pencatatan perkawinan hukumnya wajib syar’i. Sungguh sangat keliru apabila perkawinan bagi umat Islam tidak dicatatkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan ikatan perjanjian biasa, misalnya semacam utang piutang di lembaga perbankan atau jual beli tanah misalnya saja perlu dicatat, mengapa ikatan perkawinan yang merupakan perjanjian luhur dibiarkan berlangsung begitu saja tanpa adanya pencatatan oleh pejabat yang berwenang. Adalah ironi bagi umat Islam yang ajaran agamanya mengedepankan ketertiban dan keteraturan tapi mereka mengebaikannya.

Allah SWT berfirman dalam QS. An Nisa’ Ayat: 59 yang berbunyi sebagai berikut:

يا ايها الذين امنوا اطيعواالله و اطيعوا الرسو ل و اولى الأ مر منكم

Artinya : Wahai orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri diantara kalian.

Berdasarkan dalil Firman Allah SWT tersebut di atas, dapat ditarik garis tegas tentang adanya beban hukum “wajib” bagi orang-orang yang beriman untuk taat kepada

Sampai pada tahapan ini kita semua sepakat bahwa sebagai umat yang beriman memikul tanggung jawab secara imperative (wajib) sesuai perintah Allah SWT tersebut. Akan tetapi ketika perintah taat kepada

diposisikan sebagai wajib taat kepada pemerintah, otomatis termasuk di dalamnya perintah untuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai pencatatan pernikahan, maka oleh sebagian umat Islam sendiri terjadi penolakan terhadap pemahaman tersebut sehingga kasus pernikahan di bawah tangan masih banyak terjadi dan dianggap sebagai hal yang tidak melanggar ketentuan hukum syara’. Permasalahan masih banyaknya

di kalangan umat Islam adalah terletak pada pemahaman makna siapakah yang dimaksud

itu. Yang perlu dikedepankan adalah bahwa pemahaman terhadap hukum Islam itu harus komprehensif sesuai dengan katakteristik hukum Islam itu sendiri.

Komprehensifitas (dari hukum Islam) itu dapat dilihat dari keberlakuan hukum dalam Islam di mayarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi, yaitu bahwa: Hukum tidak ditetapkan hanya untuk seseorang individu tanpa keluarga, dan bukan ditetapkan hanya untuk satu keluarga tanpa masyarakat, bukan pula untuk satu masyarakat secara terpisah dari masyarakat lainnya dalam lingkup umat Islam, dan ia tidak pula ditetapkan hanya untuk satu bangsa secara terpisah dari bangsa-bangsa di dunia yang lainnya, baik bangsa penganut agama ahlulkitab maupun kaum penyembah berhala (paganis).

Dalam konteks ini perlu kiranya memahami penalaran hukum pada ayat tersebut di atas secara komprehensif. Oleh sebab itu, pendekatan terhadap penalaran makna

dalam hubungannya dengan kewajiban pencatatan perkawinan bagi umat Islam, dapat kita pahami bahwa Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan itu adalah merupakan produk legislasi nasional yang proses pembuatannya melibatkan berbagai unsur mulai dari Pemerintah, DPR, Ulama dan kaum cerdik pandai serta para ahli lainnya yang keseluruhannya merupakan

Dengan demikian, apabila Undang-undang memerintahkan perkawinan harus dicatat, maka wajib syar’i hukumnya bagi umat Islam di Indonesia untuk mengikuti ketentuan undang-undang tersebut.

Pernikahan bagi umat Islam adalah sebuah keniscayaan dan ia merupakan sesuatu yang haq. Oleh karena pernikahan adalah suatu kebenaran (

) dalam Islam, maka perlu ada nizham atau system hukum yang mengaturnya. Sungguh sangat relevan penulis nukilkan Atsar dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, r.a.:

Sesuatu yang hak tanpa nizham (system aturah hukum yang baik) akan dikalahkan oleh kebatilan dengan nizham.

Dari uraian di atas dapat diturunkan beberapa kesimpulan bahwa pernikahan sirri atau pernikahan tanpa pencatatan baik nikah tunggal maupun karena poligami, adalah pernikahan yang illegal, Ini terjadi disebabkan kurangnya pemahaman hukum dan minimnya kesadaran hukum dari sebagian masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan mereka. Pernikahan di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan hukum. Jadi, pernikahan sirri merupakan perbuatan hukum yang tidak mempunyai kekuatan hukum dalam sebuah Negara hukum bernama Indonesia. Oleh sebab itu masyarakat Islam Indonesia harus menghindari praktek perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri.

Masyarakat Islam Indonesia perlu diyakinkan bahwa pencatatan perkawinan adalah wajib hukumnya, bukan saja dipandang dari perspektif hukum positif melainkan juga dalam perspektif hukum Islam itu sendiri.

Perkawinan adalah awal terbentuknya rumah tangga yang merupakan unit masyarakat terkecil dari sebuah bangsa besar Indonesia. Oleh karena itu penguatan aturan hukum perkawinan merupakan keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Pandangan masyarakat terhadap “nikah sirri adalah perbuatan yang sah-sah saja” perlu diluruskan agar tidak menjadi preseden bagi generasi masa depan. Wallahu a’lam bis shawab.

[1] Judul makalah tersebut merupakan pengembangan dari sebuah tema tentang PROBLEMATIKA NIKAH SIRRI yang diberikan oleh PTA Medan ketika penulis masih bertugas di Pengadilan Agama Tapanuli Utara.

Hasil penelitian Soetojo dapat dilihat pada tabel I dan II, dalam tabel penelitian tersebut mengambil sample kodya Surabaya antara tahun 1976 s.d. 1985. Terlihat penurunan cukup drastis yaitu pada tahun 1976 nikah sebanyak 9345 poligami 50 dan pada tahun 1985 nikah sebanyak 10604 poligami 3, sebagaimana dimuat dalam buku:

Pengantar Kajian Islam: Studi istik Komprehensif Tentang Pilar-pilar Substansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam,

diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo, Cet.4, Jakarta, Pustaka Alkautsar, 2000, hal 156

Add comment Name (required) E-mail (required, but will not display) Notify me of follow-up comments Refresh Send Cancel

Course Manajemen Kelas

Mahkamah Agung RI pada tanggal 9 Januari 2014 telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.

Secara umum tatacara memperoleh layanan informasi adalah sebagai berikut a. Prosedur Biasa; dan b. Prosedur Khusus. a. Permohonan disampaikan secara tidak langsung, baik melalui surat atau media elektronik; b. Informasi yang diminta bervolume besar; c. Informasi yang diminta belum tersedia; atau d. Informasi yang diminta adalah informasi yang tidak secara tegas termasuk dalam kategori informasi yang harus diumumkan atau informasi yang harus tersedia setiap saat dan dapat diakses publik

Syarat dan tata cara pengaduan mengacu pada Lampiran Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 076/KMA/SK/VI/2009 tanggal 4 Juni 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan Pengaduan di Lingkungan Lembaga Peradilan.

Sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan ialah menerima, memeriksa dan memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya, termasuk didalamnya menyelesaikan perkara voluntair.

Hari iniMinggu iniBulan iniTotal Pengunjung 131011263836443935066 3.64%18.83%1.83%0.16%0.08%75.46% Online (15 minutes ago):27 27 guests no members

Kelurahan Kelapa Tujuh, Kecamatan Kotabumi Selatan, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung.

Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan ascript yang aktif untuk melihatnya.

Penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan Indonesia tidak hanya soal pengumpulan dana, pemanfaatan (utilisasi), aksesibilitas, atau cakupan perlindungan, namun juga soal upaya edukasi publik berkelanjutan. Pada awal pelaksanaan jaminan hingga saat ini, dapat dikatakan edukasi publik kurang mendapat porsi yang cukup dari pemangku kepentingan.

Ada fakta, faktor politik untuk meningkatkan perolehan suara dalam pemilu mendominasi alasan penguasa untuk mepertahankan skema pelaksanaan jaminan sosial kesehatan. Bagaimana kritisi Peter Sweifel menggambarkan faktor tersebut di Belanda dibahas dalam buku ini. Di samping itu, ada faktor urgensi edukasi publik dan bidang hukum yang baru berkembang menjadikan kehadiran buku ini penting sebagai instrumen edukasi untuk membangun budaya jaminan sosial, sekaligus pengingat tujuan negara kesejahteraan yang rentan terhadap kepentingan politik.

Sesuai dengan judulnya, yang dimaksudkan sebagai pengantar buku ini memang tepat untuk dapat mengantarkan pembacanya lebih memahami Hukum Jaminan Sosial Kesehatan Indonesia. Dengan membaca buku ini, dapat diketahui bahwa dalam jaminan sosial kesehatan terdapat berbagai persoalan hukum yang memiliki kompleksitas tinggi, tidak hanya dari aspek keperdataan, tetapi juga pidana dan administrasi.

Untuk lebih membantu pembaca memahami isi buku ini, penulis dengan apik merangkainya secara sistematis. Buku ini dimulai dari pembicaraan mengenai sistem hukum, jaminan sosial secara umum, baru jaminan sosial kesehatan. Alur deduktif dari umum ke khusus yang demikian ini membuat isi buku ini runtut. Bagi pembaca yang baru tertarik untuk lebih mendalami aspek hukum jaminan sosial kesehatan, teknik dan alur penulisan yang demikian sangat tepat untuk disajikan. Buku ini terasa lengkap karena penulis menyertakan dasar filosofis dan sosiologis dalam pembentukan jaminan sosial kesehatan, bukan hanya dasar yuridisnya. Pemahaman secara utuh itu menunjukkan penulis paham bahwa sebagai sebuah sistem, pembentukan hukum tidak lepas dari faktor di luar hukum yang dapat memengaruhi pelaksanaan dan penegakannya.

Salah satu hal sensitif mengenai persoalan kepesertaan, iuran, dan manfaat jaminan sosial kesehatan juga memperoleh perhatian khusus dalam buku ini. Tidak hanya dikaji normanya, tetapi juga bekerjanya norma itu dalam praktik sehingga dapat memperkaya wawasan pembacanya. Penulis sangat menyadari bahwa persoalan kesertaan, iuran, dan manfaat jaminan sosial kesehatan sampai saat ini memang dipenuhi dengan kompleksitas permasalahan hukum di dalamnya yang belum mendapatkan jawaban yang memadai.

Terakhir, kepatuhan hukum di bidang jaminan sosial kesehatan, pencegahan kecurangan, pengawasan, dan sanksi dalam buku ini juga dikaji keefektivitasannya setelah sebelumnya diuraikan mengenai normanya. Pemahaman penulis tentang praktik kepatuhan hukum sangat terasa ketika membaca buku ini. Itu artinya, cakrawala pembaca diperkaya dengan menggabungkan antara ketentuan normatifnya dan fakta empirisnya sehingga dapat menguatkan kritismenya. Secara kritis, penulis juga mengakui bahwa pengawasan dan sanksi atas pelanggaran norma hukum di bidang jaminan sosial kesehatan masih lemah.Buku ini semakin menarik karena dilengkapi dengan daftar peraturan, keputusan, dan kebijakan di bidang jaminan sosial kesehatan di Indonesia. Sebagai “Bonus”, setidaknya kehadirandaftar peraturan semacam itu dapat membantu pembaca yang penasaran dengan substansi hukumnya secara lengkap untuk mengaksesnya. Meskipun demikian, bagi pembaca yang belumsempat mengakses peraturan, keputusan, maupun kebijakan yang dimaksud, tidak perlu khawatir karena sesungguhnya esensinya sudah termuat dalam pembahasan bab demi bab disesuaikan dengan konteksnya.

Akhirnya, dapat direkomendasikan bahwa buku ini layak untuk dibaca, bukan hanya bagi mahasiswa, bukan hanya bagi mereka yang mempelajari hukum, tetapi bagi siapa pun yang tertarik untuk mendalami jaminan sosial kesehatan di Indonesia. Gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami menjadi salah satu kekuatan buku ini, meskipun dibaca oleh mereka yang sebelumnya tidak atau jarang bersentuhan dengan bidang hukum. Buku ini dapat menjadi magnet untuk mendekatkan ilmu hukum dan ilmu kesehatan melalui jaminan sosial kesehatan, sekaligus menunjukkan bahwa tidak ada segmen apa pun dalam hidup bernegara yang dapat steril dari aspek hukumnya. Semoga bukuini dapat menambah hasanah wawasan keilmuan dan praktis, baik bagi yang membacanya maupun masyarakat secara luas.

Yogyakarta, 2019Prof. Dr. Ari Hernawan S.H., M. HumGuru Besar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta

ini sarat dengan ulasan dari berbagai aspek, baik aspek filosofis, sosiologis, serta aspek yuridis. Aspek-aspek fondasi hukum /

bagi seluruh produk regulasi turunan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Undang-undang SJSN) dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Undang-undang BPJS). Berdasarkan Undang-undang SJSN dan Undang-undang BPJS ini telah secara tegas dibentuk dua badan penyelenggara jaminan sosial di indonesia, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan (pasal 5 ayat (1) Undang-undang SJSN jo. Pasal 5 Undang-undang BPJS).

Pembentukan puluhan regulasi turunan Undang-undang SJSN dan Undang-undang BPJS sarat dengan dinamika politik hukum. Saat menjabat Kepala Divisi Kepatuhan dan Hukum BPJS Ketenagakerjaan (2013-2017), tentunya saya terlibat dalam pembahasannya dan melihat langsung dinamika politik hukum ini, yang tampak dari pembahasan-pembahasan antarkementerian dan lembaga, baik Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, Sekretariat Negara, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Bappenas, Apindo, Serikat Buruh/Pekerja, bahkan akademisi dari beberapa universitas, para aktuaris, dan pakar hukum maupun organisasi profesional lainnya.

Politik hukum yang merupakan suatu aktivitas untuk menetapkan tujuan dan isiregulasi sangat dominan dalam pembahasan pembentukan regulasi jaminan sosial. Lembaga dan kementerian berusaha “menjaga posisi regulasi dan kebijakan” agar tetap aman dan tidak berpotensi menimbulkan permasalahan kemudian hari bila produk hukum jaminan sosial ketenagakerjaan maupun jaminan sosial kesehatan menjadi Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun Peraturan menteri.

Penulis berhasil menjelaskan secara baik dan jernih implementasi produk hukum turunan Undang-undang SJSN dan Undang-undang BPJS. Penulis mampu melihat secara cerdik dinamika politik hukum Lembaga Kementerian yang sangat menentukan isi dari setiap regulasi. Selain itu, penulis mampu merekonstruksi aspek filosofis, sosiologis, dan aspek yuridisnya sehingga pembaca dapat secara ringan membaca buku ini, namun mampu menggiring pemikiran kita untuk dapat memahami apa yang dimaksudkan dengan hukum jaminan sosial kesehatan dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia.

Semoga buku ini dapat menambah referensi pemikiran pembacanya agar dapat mengetahui aspek fundamental dan kedinamisan praktik penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia, khususnya jaminan sosial kesehatan yang saat ini menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat untuk menuju kehidupan yang lebih sejahtera bagi seluruh bangsa Indonesia.

Yang Bukan Dimaksud Dengan Kepengarangan Dalam Resensi Buku Adalah - The Best Critical Thinkers

“Isi cukup komprehensif; deskripsi pembahasan ringkas namun memadai dan menggambarkan historis yuridis awal perkembangan kelembagaan JKN hingga awal 2019. Baik dibaca bagi akademisi khususnya generalis multidisiplin.”

_Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, DFM., SH, M.Si.Sp.F(K) (Guru Besar di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikokegal FK UI).

Kehadiran buku ini tepat waktu pada saat bangsa Indonesia memasuki tahapan baru penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan bagi masyarakat yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Oleh sebab itu, buku ini penting bagi semua kalangan masyarakat, mahasiswa pada umumnya, dan mahasiswa hukum pada khususnya.

Bagi mahasiswa sebagai calon pemimpin (A student today, a leader tomorrow), dan sebagai agen pembaharu (agent of change) dengan membaca buku ini para mahasiswa dapat membantu menjelaskan masalah-masalah berkaitan dengan hukum jaminan sosial kesehatan Indonesia kepada masyarakat yang mengalami kesulitan terkait masalah ini.

Di samping itu, Mahsiswa hukum yang akan membuat penulisan terkait jaminan kesehatan di sarankan membaca buku ini, mengingat belum banyak buku sejenis yang terbit.

– Prof. Dr. Drs. Paulinus Soge, S.H., M.Hum. (Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta) –

Terdapat berbagai metode untuk mendekati suatu bidang hukum, diantara metode normatif itis, sosiologis, historis, komparatif, dan sistematis. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan metode sistematis untuk mendekati bidang hukum jaminan sosial kesehatan di Indonesia. Metode sistematis yang dimaksud merupakan metode yang mendekati/memperlakukan hukum  sebagai sistem.

Hukum sebagai sistem telah banyak didiskusikan oleh Para pakar. Diantaranya Pandangan Lawrence M. Friedman mengenai sistem hukum (

), bahwa hukum merupakan suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen pokok yang menyertainya, yaitu substansi, struktur, dan kultur hukum. Sebelum menjabarkan pengertian ketiga komponen tersebut, pengertiannya dapat dijabarkan dalam kontekstual tema dalam buku ini, yakni sistem hukum jaminan sosial kesehatan di Indonesia, yang tengah berkembang sangat dinamis.

) berkembang dinamis sejalan dengan pembentukan peraturan turunan UU SJSN dan UU BPJS, dinamika masyarakat, maupun putusan-putusan pengadilan. Dalam catatan penulis terdapat 16 (enam belas) Peraturan Pemerintah yang terkait diundangkan dalam periode 2012-2018, 18 (delapan belas) Peraturan Presiden (2008-2018), dan setidaknya ada 7 (tujuh) putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengujian UU SJSN (2005-2013), dan 5 (lima) putusan pengujian UU BPJS (2012-2015).

“Tidak hanya melalui legislasi, hukum Jaminan Sosial Kesehatan Indonesia juga dibangun dalam  judicial review di Mahkamah Konstitusi.”

Putusan pengadilan turut berperan dalam membangun substansi hukum jaminan sosial kesehatan di Indonesia. Sebagai contoh, Putusan MK Perkara Nomor 70/PUU-IX/2011 memaknai substansi Pasal 13 ayat (1) UU SJSN menjadi selengkapnya harus dibaca:

“Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti dan pekerja berhak untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata- …

Sistem dapat dipahami sebagai perangkat yang fungsinya sangat ditentukan dari kinerja keterkaitan komponen-komponen penyusunnya. Apabila salah satu komponen tidak berfungsi dapat mengganggu kinerja komponen yang lain hingga dapat menimbulkan sistem tidak berfungsi secara keseluruhan. Dengan demikian di dalam suatu sistem selain ada komponen penyusun, ada mekanisme kerja di dalam setiap komponen, ada mekanisme kerja antar komponen, dan ada sinergi antar komponen untuk menjalankan fungsi tertentu/tujuan bersama yang berharga.

KBBI memberikan pengertian bahwa sistem merupakan perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.[1] Sistem berasal dari bahasa Yunani “

).[2] Sistem, dalam Satjipto Rahardjo (2006)[3] dijelaskan dalam 2 (dua) pengertian, yang pertama adalah pengertian sistem sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu ini menunjukkan suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian. Kedua, sistem sebagai suatu rencana, metode, atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu (Shorde & Voich, 1974:121-133). Selanjutnya, pemahaman umum mengenai sistem mengatakan bahwa sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Pemahaman tersebut hanya menekankan pada ciri keterhubungan dari bagian-bagiannya, tetapi mengabaikan ciri yang lain, yaitu bahwa bagian-bagian tersebut bekerja bersama secara aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut (Shorde & Voich, 1974:122). Apabila suatu sistem ditempatkan pada pusat pengamatan yang demikian itu, maka pengertian-pengertian dasar yang terkandung di dalamnya adalah sebagai berikut (Shorde & Voich: 122):

[1]     https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sistem, diakses tanggal, 24 September 2018.

Jaminan sosial meredistribusikan pendapat dalam situasi sosial yang timpang akibat pasar bebas.

Jaminan sosial merupakan kebijakan untuk meredistribusikan pendapat dalam keadaan sosial yang timpang akibat pasar bebas. Adanya  pemikiran bahwa dengan memiliki pekerjaan, kemiskinan dapat dihindari mendorong usulan dibukanya negara negara untuk perdagangan bebas. Secara logika, dengan dimunculkannya peluang-peluang baru maka semakin banyak tenaga kerja yang terserap di lapangan pekerjaan baru. Hal ini diyakini akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Namun, kenyataannya tidak semua pekerjaan mampu memberikan jaminan untuk lepas dari kemiskinan, sehingga mereka yang memiliki pekerjaan pun tidak serta merta dapat dianggap tidak miskin. Dalam

, Bank Dunia memaparkan sejumlah penelitian yang menyimpulkan bahwa keadaan demikian justru memperluas ketimpangan sosial.[1] Hal ini mengakibatkan perlunya sebuah kebijakan yang dirancang sedemikian rupa (Topalova, 2005)[2] dan berkelanjutan (Justino, 2007)[3] untuk meredistribusikan pendapatan. Salah satunya adalah program jaminan sosial.

Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.[4] Belum ada penjabaran makna yang konkret dan terukur mengenai kebutuhan dasar hidup yang layak, dalam UU BPJS dijelaskan sebagai kebutuhan esensial setiap orang agar dapat hidup layak, demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[5]

Jaminan sosial dibangun di atas tiga pilar. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (NA RUU BPJS) menyebutkan ketiga pilar tersebut, yaitu:[6]

) bagi mereka yang miskin dan tidak mampu atau tidak memiliki penghasilan tetap yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.

pilar asuransi sosial yang merupakan suatu sistem asuransi yang wajib diikuti bagi semua penduduk yang mempunyai penghasilan (di atas garis kemiskinan) dengan membayar iuran yang proporsional terhadap penghasilannya/upahnya.

pilar tambahan atau suplemen bagi mereka yang menginginkan jaminan yang lebih besar dari jaminan kebutuhan standar hidup yang layak dan mereka yang mampu membeli jaminan tersebut (pilar jaminan swasta/privat yang berbasis sukarela/dagang).

Definisi jaminan sosial secara universal dapat kita temukan dalam konvensi internasional maupun dari pendapat ahli. Menurut Guy Standing (2000) dalam NA UU SJSN, jaminan sosial adalah sebuah sistem yang menyediakan perlindungan finansial untuk risiko kontingensi yang mungkin timbul dalam hidup-penyakit, kehamilan, kecelakaan kerja, pengangguran, cacat, usia tua, dan kematian; untuk penyediaan perawatan medis, dan untuk penyediaan subsidi bagi keluarga dengan anak kecil, “

Social security, is a system for providing income security to deal with the contingency risks of …

[4]     Pasal 1 angka 1, UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

[5]     Penjelasan Pasal 3 UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan

[6]     Lihat, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional, h.18.

Penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan berdasarkan UU SJSN dan UU BPJS. Pemenuhannya melalui program Jaminan kesehatan yang diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.[1]

Menurut Hasbullah Thabrany kebutuhan dasar kesehatan berbeda dengan kebutuhan dasar lain karena sifat ketidakpastian (

Permenkes No 118 Tahun 2014 Tentang Kompendium Alat Kesehatan

) yang tidak bisa diukur sama untuk semua orang. Misalnya, kebutuhan dasar makan dapat diukur berdasarkan perhitungan ahli gizi medik sebanyak minimal 2.100 kalori, untuk rata-rata besar tubuh penduduk Indonesia; kebutuhan perumahan dasar, para ahli menetapkan bahwa setiap orang perlu memiliki ruang privat minimum 8 meter persegi. Sedangkan kebutuhan dasar kesehatan setiap orang tidak dapat dihitung di muka dan tidak dapat diseragamkan untuk semua orang.[2]

Jaminan Sosial Kesehatan dapat mengindikasikan keadilan sosial. Apabila menggunakan parameter keadilan sosial menurut H. Tritram Engelhardt, maka implementasi sistem jaminan sosial kesehatan yang memungkinkan terkendalinya pembiayaan kesehatan merupakan salah satu parameter keadilan sosial.  H. Tritram Engelhardt mengemukakan parameter keadilan dapat diukur dengan:[3] 1) tersedianya pelayanan sebaik mungkin untuk semua orang, 2) tersedianya pelayanan yang sama untuk semua orang, 3) kebebasan untuk memilih baik pada pihak penyedia pelayanan kesehatan maupun pada pihak orang sakit yang membutuhkan, 4) terkendalinya pembiayaan pelayanan kesehatan.

“Jaminan Sosial Kesehatan di Indonesia mewujudkan cita-cita keadilan sosial, pada saat mampu berfungsi sebagai pengendali biaya pelayanan kesehatan yang cenderung meningkat”

Tritram Engelhardt secara spesifik menyebutkan pembiayaan pelayanan kesehatan yang terkendali sebagai salah satu parameter keadilan sosial. Kontekstual pembiayaan pelayanan kesehatan di Indonesia, Jaminan sosial kesehatan berdasarkan UU SJSN dilaksanakan melalui mekanisme asuransi sosial, yaitu mekanisme pengumpulan dana untuk membiayai pengeluaran kesehatan. Dengan demikian jaminan sosial kesehatan dengan mekanisme asuransi sosial di Indonesia dapat menjadi salah satu parameter pencapaian keadilan sosial, pada saat kehadirannya dapat mengendalikan pengeluaran kesehatan yang cenderung meningkat.

Prinsip dan tujuan penyelenggaraan jaminan kesehatan termuat dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Pasal 19 UU SJSN menyebutkan jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya. Sedangkan prinsip asuransi sosial meliputi :

kegotongroyongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah;

Sedangkan tujuan program jaminan kesehatan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Berdasarkan prinsip asuransi sosial, Jaminan sosial kesehatan diselenggarakan secara nasional. Prinsip asuransi sosial dapat dibilang konsep baru bagi masyarakat Indonesia. Ada yang memersepsikan asuransi sosial yang dimaksud dalam UU SJSN (asuransi sosial UU SJSN) sama dengan asuransi komersial pada umumnya, bahkan dianggap hanya …

[1] Lihat, Pasal 19 ayat (1) dan (2), UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

Setiap pembentukan hukum formal harus memilik dasar pertimbangan/pemikiran pembentukannya. Dalam Naskah Akademik penyusunan peraturan  perundang-undangan dasar pemikiran ini harus tergambarkan dengan jelas.

Dasar pemikiran pembentukan hukum jaminan sosial kesehatan merupakan pertimbangan yang melandasi suatu ketentuan hukum jaminan sosial kesehatan dibentuk. Mengacu pada UU No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dasar pemikiran pembentukan hukum jaminan sosial kesehatan dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) dasar, meliputi:

Dasar filosofis pembentukan hukum jaminan sosial kesehatan merupakan dasar pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa hukum bersumber pada pandangan hidup berbangsa dan bernegara, kesadaran akan nilai kegotongroyongan, dan cita hukum bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[1] Cita hukum, menurut berbagai literatur, merupakan ide-ide pokok yang menjadi bintang pemandu (

Mengenai menentukan dasar pertimbangan atau alasan hukum tersebut, ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat (2016) berpandangan ada beberapa panduan agar hukum dapat berkeadilan sosial. Dalam pandangannya, pertimbangan tersebut haruslah berpijak di atas beberapa fundamen, yaitu:[2]

kebijakan harus mengarah dan diarahkan kepada cita-cita bangsa, yakni masyarakat adil makmur dan berdasarkan Pancasila.

, kebijakan negara ditujukan untuk mencapai tujuan negara berupa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

, kebijakan dipadukan oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, yaitu berbasis moral agama, menghargai dan melindungi hak-hak manusia tanpa diskriminasi, mempersatukan seluruh unsur bangsa dan semua ikatan primordialnya, meletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat, dan membangun keadilan sosial.

, dipandu keharusan untuk melindungi semua unsur dan elemen negara demi integritas ideologi dan teritorial, mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan kemasyarakatan, mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum) serta menciptakan toleransi hidup beragama.

, kebijakan negara harus mengambil dan memadukan berbagai nilai kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan.

Pertimbangan pembentukan hukum jaminan sosial kesehatan untuk menjabarkan amanat pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Sebagai contoh, di dalam konsiderans “menimbang” huruf a dan b UU SJSN dapat ditemukan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya serta terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Selanjutnya untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh, negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam bahasan politik hukum di Indonesia, Moh. Mahfud MD memosisikan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan negara.[3] Tujuan negara dapat ditemukan dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi, dan keadilan sosial. Hukum Jaminan Sosial Kesehatan dapat diposisikan sebagai …

[1]     Mengacu pada pengertian Landasan Filosofis dalam UU No. 12 Tahun 2011.

[2]     Disampaikan dalam acara Dialog Refleksi 12 Tahun SJSN memperingati hari jadi UU SJSN, Gedung MK, 24 November 2016.

Dasar sosiologis pembentukan hukum bertitik tolak dari adanya kebutuhan masyarakat. Di bidang hukum jaminan sosial kesehatan, kebutuhan tersebut muncul dari persoalan pelayanan kesehatan yang menuntut adanya perubahan menuju pelayanan kesehatan yang lebih baik.

Pemikiran sosiologis pembentukan hukum jaminan sosial kesehatan mencakup fakta empiris mengenai berbagai persoalan pelayanan kesehatan yang ada saat itu. Persoalan menumbuhkan kebutuhan masyarakat dan negara akan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang efektif, efisien, dan berkeadilan.[1]

Penulis akan menggambarkan dinamika persoalan  sosiologis ini melalui potret  yang ada dalam persidangan gugatan warga negara (

). Penulis mengikuti persidangan gugatan warga negara untuk memotret berbagai dinamika permasalahan pelayanan kesehatan. Potret berikut penulis muat untuk menggambarkan pertimbangan sosiologis pembentukan hukum jaminan sosial kesehatan di Indonesia yang diungkapkan para saksi ahli dan saksi fakta saat memberikan keterangan di bawah sumpah dalam perkara gugatan warga negara di Pengadilan Umum Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor Registrasi Perkara 278/PDT.G/PN.JKT.PST:[2]

Saat itu, persidangan menghadirkan saksi fakta anggota DPR RI yang terlibat langsung dalam pembahasan RUU BPJS. Saksi fakta mengungkapkan mengenai penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang terhambat regulasi. Peraturan perundang-undangan tumpang tindih satu dengan yang lain, tidak lengkap atau bahkan kosong, sementara itu upaya pembentukan peraturan perundang-undangan banyak yang terhambat.

Saksi fakta, bernama Rieke Dyah Pitaloka  merupakan Anggota DPR Komisi IX Pansus RUU BPJS), menyampaikan di persidangan tanggal 6 April 2011, bahwa sejak pembentukan Pansus RUU BPJS (31/8/2010) dan enam rapat kerja DPR dengan pemerintah yang berlangsung sejak 7/10/2010, DPR dan pemerintah gagal mencapai kesepakatan atas sifat UU BPJS, apakah menetapkan atau menetapkan dan mengatur. Pembahasan terhenti sejak 9 Februari 2011. RUU BPJS terancam tidak dapat disahkan tahun ini, padahal UU BPJS adalah prioritas program legislasi nasional tahun 2010 dan dilanjutkan kembali hingga 2011.

Keterangan Rieke Dyah Pitaloka di pengadilan ini, menunjukan gambaran sosiologis betapa alot dan panjang proses pembahasan RUU BPJS di Komisi IX DPR RI. RUU sebagai prioritas program terancam mundur pengesahaannya.

Beberapa pihak yang menganggap jaminan sosial tidak dapat terlaksana beralasan bahwa negara tidak memiliki ruang fiskal yang cukup untuk …

[1]     Mengacu pada pengertian Landasan Sosiologis dalam UU No. 12 Tahun 2011, dan asas penyelenggaraan program jaminan sosial .

Dasar yuridis pembentukan hukum jaminan sosial kesehatan di Indonesia, merupakan pertimbangan atau alasan hukum yang menggambarkan perlunya pembentukan hukum bidang ini sebagai landasan untuk mengatasi berbagai permasalahan bidang pelayanan kesehatan. Pembentukan hukum tersebut dalam rangka mengisi kekosongan hukum, mengubah, mencabut, ataupun mengganti peraturan lama dengan peraturan yang baru guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan.

Yang Bukan Dimaksud Dengan Kepengarangan Dalam Resensi Buku Adalah - The Best Critical Thinkers

Untuk mempermudah identifikasi, penulis mengelompokkan dasar yuridis pembentukan hukum jaminan sosial kesehatan di Indonesia dalam 2 periode, yaitu:

Perlu diingat kembali bahwa yang dimaksud hukum jaminan sosial kesehatan tersebut, adalah hukum yang bermula dan berkembang dari amanat Pasal 28 H ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Sebelum UU SJSN, Indonesia juga telah berjalan jaminan kesehatan dengan rezim hukum yang berbeda, sebagaiman telah diuraikan dalam tulisan sebelumnya terkait segmentasi peserta jaminan kesehatan. Oleh sebab itu penulis menggunakan UU SJSN sebagai patokan awal isa dasar yuridis pembentukan hukum jaminan sosial kesehatan.

Sebelum berlaku UU SJSN, dasar yuridis pembentukan Hukum Jaminan Sosial Kesehatan dapat kita gali dalam: …

Pokok bahasan selanjutnya adalah badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan. Berdasarkan pendekatan hukum sebagai sistem yang penulis gunakan, badan penyelenggara maupun institusi-institusi lain terkait, merepresentasi komponen struktur sistem hukum, kerangka keras bangunan sistem yang memungkinkan sistem bergerak. Kerangka keras yang dimaksud adalah institusi yang berbadan hukum dengan kedudukan, fungsi, tugas, dan wewenang yang jelas bersadarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mengenai bentuk badan hukum badan penyelenggara jaminan sosial merupakan salah satu esensi yang dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Esensi mengubah status badan hukum badan penyelenggara yang ada sekarang menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang tidak bertujuan mencari laba (

) untuk kas negara. Dalam perkembangannya, esensi dijabarkan dan membuahkan transformasi PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan berdasarkan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

Menggunakan skema asuransi, BPJS Kesehatan mengemban tugas menyelenggarakan program jaminan sosial kesehatan bagi seluruh penduduk. Skema asuransi kesehatan sendiri telah diperkenalkan di Indonesia pada masa kolonial Belanda tahun 1934. Berdasarkan Undang Undang Pokok yang berlaku bagi wilayah jajahan Hindia Belanda (

) nomor 1 yang ditetapkan pada 19 Desember 1934, peserta asuransi adalah pegawai negeri dan penerima pensiun yang statusnya disamakan dengan orang Eropa.

nomor 110 yang ditetapkan pada 19 Februari 1938 mengubah ketentuan peserta menjadi seluruh pegawai negeri dan penerima pensiun.[1]

Setelah kemerdekaan, di tahun 1950an, ketiadaan skema penjaminan dari pemerintah memunculkan inisiatif dari kelompok-kelompok masyarakat untuk mengumpulkan dana sosial untuk keperluan kesehatan anggotanya secara sukarela. Skema ini berkembang dan tersebar di 11.506 desa atau sekitar 18,5% dari total jumlah desa di Indonesia pada tahun 1994. Namun demikian, dana yang terkumpul sangat kecil.[2] Skema jaminan kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah negara Indonesia sendiri baru muncul tahun 1968 dengan diterbitkannya Keputusan Presiden nomor 230 tahun 1968 yang mengatur pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negeri dan penerima pensiun (PNS dan ABRI). Untuk melaksanakan Keppres tersebut, Menteri Kesehatan membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 1968. Skema ini merupakan skema penjaminan kesehatan formal tertua di Indonesia.

Periode BPDPK berlangsung dari 1968 hingga tahun 1984. Berdasarkan PP No. 23 Tahun 1984, status BPDPK diubah menjadi Perusahaan Umum Husada Bhakti sebagai pelaksana Pasal 10 PP No. 22 Tahun 1984 tentang Pemeliharaan Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun beserta Anggota Keluarganya….

Transformasi badan penyelenggara jaminan sosial merupakan perintah UU. Yuridis formal, kata transformasi pertama kali muncul dalam Penjelasan Umum UU SJSN. Penjelasan umum, Alinea terakhir menyebutkan bahwa dalam undang-undang ini diatur penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan kematian bagi seluruh penduduk melalui iuran wajib pekerja. Program-program jaminan sosial tersebut diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam undang-undang ini adalah transformasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang sekarang telah berjalan dan dimungkinkan membentuk badan penyelenggara baru sesuai dengan dinamika perkembangan jaminan sosial.

Kemudian kata transformasi muncul dalam konsiderans menimbang huruf c UU BPJS yang menyebutkan bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, harus dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan undang-undang yang merupakan transformasi keempat Badan Usaha Milik Negara untuk mempercepat terselenggaranya sistem jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.

Makna dasar kata transformasi yaitu perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya).[1] Kata transformasi, kontekstual dalam UU SJSN, bermakna sebagai perubahan bentuk, sifat, fungsi kelembagaan PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT TASPEN (Persero), dan PT ASABRI (Persero) menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang diikuti pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban, berdasarkan perintah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 UU SJSN.

Transformasi kelembagaan BUMN penyelenggara jaminan sosial tersebut membawa perubahan mendasar struktur kelembagaan, substansi, hingga kultur penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia. Kelembagaan penyelenggara jaminan sosial berubah dari badan hukum privat menjadi badan hukum publik di bawah presiden, yang dilengkapi dengan kewenangan beraspek publik dan privat. Kewenangan beraspek publik, tercermin dari tindakan hukum dan akibat yang ditimbulkan dalam ranah hukum publik, sedangkan beraspek dalam ranah hukum keperdataan.

Secara substansi, tata kelola program juga berubah, di antaranya program dikelola berdasarkan mekanisme asuransi sosial, ada pemisahan program dan aset. Sedangkan secara kultur/budaya, berubah dari budaya organisasi pengejar keuntungan menjadi organisasi pelayan publik untuk menjaminkan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup warga menuju masyarakat sejahtera.

Lebih lanjut penulis memaknai transformasi kontekstual dalam UU SJSN dan UU BPJS, sebagai berikut:[2]

a.     Perubahan Status Badan Hukum PT Jamsostek (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan per 1 Januari 2014.

Dalam rangka perubahan tersebut UU menugaskan Dewan Komisaris dan Direksi PT Jamsostek (Persero) untuk :

menyiapkan pengalihan program jaminan pemeliharaan kesehatan kepada BPJS Kesehatan;

menyiapkan operasional BPJS Ketenagakerjaan untuk program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian;

Pojok Dosen Archives

menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban program jaminan pemeliharaan kesehatan PT Jamsostek (Persero) terkait penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan ke BPJS Kesehatan; dan….

BPJS Kesehatan dibentuk berdasarkan Pasal 5 ayat (2) huruf a. UU BPJS jo. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 UU SJSN. Bersama BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan Sistem Jaminan Sosial Nasional, yaitu memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penjelasan Umum UU SJSN menyebutkan melalui SJSN, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun….

Dalam melaksanakan program jaminan kesehatan, BPJS Kesehatan mengemban 7 (tujuh) tugas pokok berdasarkan Pasal 10 UU BPJS, yaitu:

memungut dan mengumpulkan iuran jaminan kesehatan dari peserta dan pemberi kerja;

membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program Jaminan Sosial Kesehatan; dan

memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan Sosial kesehatan kepada peserta dan masyarakat.…

BPJS Kesehatan dilengkapi dengan  8 (delapan) kewenangan. Dengan kewenangan yang dimilikiya BPJS Kesehatan diharapkan mampu menjalankan tugas-tugas pokoknya. Kewenangan yang dimaksud untuk melaksanakan kegiatan berikut:[1]

menagih pembayaran iuran jaminan kesehatan. Kegiatan menagih dilaksanakan dalam hal terjadi penunggakan, kemacetan, atau kekurangan pembayaran iuran. Yang dimaksud menagih adalah meminta pembayaran dalam hal terjadi penunggakan, kemacetan, atau kekurangan pembayaran iuran.

menempatkan Dana Jaminan Sosial Kesehatan untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai;

melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta JK dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional;

membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh pemerintah. Standar tarif ditetapkan pemerintah setelah mendapat masukan dari BPJS Kesehatan bersama dengan asosiasi fasilitas kesehatan, baik tingkat nasional maupun tingkat daerah.

mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya;

melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan UU SJSN dan peraturan pelaksanaannya. Yang dimaksud dengan “kewajiban lain” antara lain adalah kewajiban mendaftarkan diri dan Pekerjanya sebagai Peserta, melaporkan data kepesertaan termasuk perubahan Gaji atau Upah, jumlah Pekerja dan keluarganya, alamat Pekerja, serta status Pekerja; dan

melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program Jaminan Sosial. ­Kerja sama dilaksanakan dalam rangka pemungutan dan pengumpulan iuran dari peserta dan pemberi kerja serta penerimaan bantuan iuran dilakukan dengan instansi pemerintah dan pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah….

Organ BPJS Kesehatan terdiri dari Dewan Pengawas dan Direksi.[1] Dewan Pengawas merupakan pengawas atas pelaksanaan pengurusan BPJS Kesehatan oleh direksi dan memberikan nasihat kepada direksi dalam penyelenggaraan program Jaminan Sosial Kesehatan. Sedangkan Direksi merupakan pemegang kewenangan dan tanggung jawab atas pengurusan BPJS Kesehatan untuk kepentingan BPJS Kesehatan, sesuai dengan asas, tujuan, dan prinsip BPJS, serta mewakili BPJS baik di dalam maupun di luar pengadilan, sesuai dengan UU BPJS.

“SJSN produk politik, namun jangan dijadikan alat politik”, demikian banyak pakar mengingatkan. Peringatan ini terakomodir dalam salah satu persyaratan menjadi anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi BPJS Kesehatan bahwa anggota tidak menjadi anggota atau menjabat sebagai pengurus partai politik.

Syarat-syarat menjadi anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi BPJS Kesehatan diatur dalam UU BPJS. Berdasarkan Pasal 25 UU BPJS syarat tersebut sebagai berikut:

memiliki kualifikasi dan kompetensi yang sesuai untuk pengelolaan program Jaminan Sosial (kualifikasi diukur dari jenjang pendidikan formal);

Kriteria kompetensi calon anggota Dewan Pengawas atau calon anggota Direksi diukur berdasarkan pengalaman, keahlian, dan pengetahuan sesuai dengan bidang tugasnya.

berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 60 (enam puluh) tahun pada saat dicalonkan menjadi anggota;

tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan/atau

tidak pernah menjadi anggota direksi, komisaris, atau dewan pengawas pada suatu badan hukum yang dinyatakan pailit karena kesalahan yang bersangkutan.

Selama menjabat, anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi tidak boleh merangkap jabatan di pemerintahan atau badan hukum lainnya.

2)   Tata Cara Pemilihan dan Penetapan Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi

Proses pemilihan dan penetapan anggota Dewan Pengawas dan anggota direksi dapat memakan waktu hingga 85 hari sejak dari pembentukan panitia seleksi sampai dengan penetapan anggota terpilih oleh presiden. Tata cara pemilihan dan penetapan anggota Dewan Pengawas dan anggota direksi diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 30 UU BPJS, yaitu sebagai berikut:

Presiden membentuk panitia seleksi yang terdiri atas 2 (dua) orang unsur pemerintah dan 5 (lima) orang unsur masyarakat. Keanggotaan panitia seleksi ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Panitia seleksi mengumumkan penerimaan pendaftaran calon anggota Dewan Pengawas dan calon anggota direksi paling lama 5 (lima) hari kerja setelah ditetapkan.

BPJS Kesehatan mendapat kewenangan untuk menjalin hubungan dengan lembaga lain. Tata cara BPJS Kesehatan menjalin hubungan dengan lembaga lain diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Hubungan Antar Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (PP. 85/2015). Peraturan Pemerintah ini sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 51 ayat (4) UU BPJS, terdiri dari 6 Bab dan 21 Pasal, memuat materi-materi sebagai berikut:

Tata Cara Hubungan Kerja Sama BPJS dengan Organisasi atau Lembaga Lain Dalam Negeri dan Luar Negeri

Sumber hukum hubungan kerja sama BPJS Kesehatan dengan lembaga lain adalah perjanjian kerja sama. Berdasarkan Pasal 4, 9, dan 12 PP. 85/2015, hubungan kerja sama BPJS dengan lembaga pemerintah, lembaga pemerintah daerah, organisasi atau lembaga lain baik dalam maupun luar negeri dilaksanakan melalui perjanjian kerja sama.

Perjanjian kerja sama tertulis antara BPJS Kesehatan dengan Lembaga lain berdimensi hukum publik dan hukum privat.  Pada saat kepentingan publik dan hak privat bertemu, hubungan menjadi problematis ketika  keduanya bertentangan.

Perjanjian kerja sama dibuat secara tertulis. Para pihak dapat menuangkan perjanjian dalam bentuk nota kesepahaman, kerja sama operasional, kerja sama fungsional, atau bentuk lain yang disepakati bersama. Perjanjian kerja sama ini wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana telah disebutkan dalam bab 3, BPJS Kesehatan sebagai Badan Hukum Publik dilengkapi kewenangan melakukan tindakan hukum dalam ranah hukum publik dan privat. Perjanjian kerja sama tertulis BPJS Kesehatan dengan pihak lain merupakan salah satu contoh tindakan hukum BPJS Kesehatan dalam ranah hukum privat (keperdataan) yang menimbulkan akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian kerja sama terikat pada batasan-batasan syarat sahnya perjanjian yang telah ditentukan peraturan perundang undangan (Pasal 1320 KUHPerdata).

Perjanjian kerja sama antara BPJS Kesehatan dengan lembaga lain menimbulkan perikatan. Hubungan hukum bagi para pihak, tuntutan pelaksanaan prestasi dari pihak satu merupakan kewajiban dari pihak yang lain melaksanakannya, muncul sebagai konsekuensi perikatan yang timbul.

Perjanjian merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum dalam ranah hukum keperdataan. Perbuatan dan akibat yang dimaksud dapat saja problematis, pada saat perselisihan terjadi dalam pelaksanaan perjanjian kerja sama antara BPJS Kesehatan dengan lembaga lain yang berbadan hukum privat. Cara pandang menyingkapi hubungan kepentingan publik dan hak privat ini, sebagaimana telah dibahas di Bab 3 buku ini.

BPJS Kesehatan dilengkapi 8 (delapan) kewenangan berdasarkan UU BPJS, sehingga sebagai entitas hukum sangat berkuasa (

). Sebagai contoh bahwa BPJS Kesehatan sangat berkuasa, ia dapat menjatuhkan sanksi kepada peserta dan pemberi kerja yang tidak menjalankan kewajibannya. Hal ini sebenarnya juga menyisakan pertanyaan apakah peserta dan pemberi kerja juga dapat menuntut penjatuhan sanksi kepada BPJS Kesehatan jika tidak menjalankan kewajibannya terhadap mereka.

Selain itu kekuasaan BPJS Kesehatan juga terlihat dari kewenangannya dapat  menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan. Beberapa kasus yang pernah mencuat di media Fasilitas Kesehatan (Rumah Sakit) kalang kabut karena kontraknya diputus oleh BPJS Kesehatan dengan alasan tidak lolos rekredesialing, namun demikian justru sebaliknya ada juga faskes yang kalang kabut karena memenuhi syarat kredensialing namun BPJS Kesehatan tidak membuatkan kontrak kerja sama. Ketidakseimbangan seperti ini, perlu mendapat perhatian publik agar pelaksanaan hubungan BPJS Kesehatan dengan Fasilitas Kesehatan berjalan dengan imbang dan adil.

Oleh sebab itu, kontrak kerja/perjanjian kerja sama pada prinsipnya tidak dapat serta merta dihentikan secara sepihak. Secara naturalia, kontrak dapat dihentikan/putus oleh kesepakatan para pihak, meskipun para pihak tidak mengaturnya dalam kontrak. Kontrak juga dapat putus secara aksidentalia, yakni kejadian yang diperjanjikan dapat menjadi dasar pengakhiran/pemutusan kontrak terjadi.

Hubungan BPJS Kesehatan dengan lembaga lain berdasarkan perjanjian kerja sama. Oleh sebab itu dalam bahasan ini, penulis melihat pola hubungan ini sebagai pola kemitraan, dimana.…

BPJS Kesehatan mengelola Aset Jaminan Sosial Kesehatan (AJSK) dalam kerangka pelaksanaan UU SJSN dan UU BPJS, artinya BPJS Kesehatan tidak seperti entitas bisnis umumnya yang bebas mengelola aset yang dimiliki. BPJS Kesehatan mengelola aset berdasarkan  Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan (PP 87/2013). Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan  Pasal 47 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pasal 41 ayat (3), Pasal 43 ayat (3), dan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

AJSK terdiri atas aset BPJS Kesehatan dan aset dana jaminan sosial kesehatan. Pengelolaan kedua aset tersebut mencakup 3 (tiga) kegiatan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan dan evaluasi, sebagai berikut:

AJSK dikelola secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai. Kita uraikan satu persatu subtansi pengaturan pengelolaan AJSK berdasarkan PP 87/2013, sebagai berikut:

Yang Bukan Dimaksud Dengan Kepengarangan Dalam Resensi Buku Adalah - The Best Critical Thinkers

Perencanaan pengelolaan AJSK berdasarkan standar yang berlaku secara nasional. Perencanaan mencakup 2 (dua) kegiatan pokok, yaitu:

, penyusunan rancangan dan penetapan rencana pengelolaan aset Jaminan Sosial Kesehatan.

Kegiatan ini ditujukan untuk mengumpulkan data dan informasi aset liabilitas Jaminan Sosial Kesehatan, meliputi:

b.    Penyusunan Rancangan dan Penetapan Rencana Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

BPJS Kesehatan menyusun rancangan rencana pengelolaan AJSK, yang paling sedikit memuat rencana pengelolaan aset dan liabilitas BPJS Kesehatan, dan rencana….

Peserta Jaminan Kesehatan (peserta) adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran. Berdasarkan ketentuan umum ini, kriteria utama peserta adalah pembayar iuran.

Pembayaran iuran peserta sesuai tingkat gaji, upah, penghasilan, atau sejumlah nominal tertentu yang dibayarkan sendiri, pemerintah, maupun pihak lain. Iuran ini merupakan bentuk gotong-royong peserta dalam membiayai pelayanan kesehatan bagi mereka.

Iuran dibayarkan secara wajib. Timbal balik atas kewajiban ini, peserta berhak atas informasi pelaksanaan program jaminan kesehatan yang diikutinya dan manfaat pelayanan kesehatan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk juga manfaat atas hasil pengelolaan dana jaminan sosial kesehatan.

Peserta Jaminan Kesehatan dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu: Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan dan Bukan PBI Jaminan Kesehatan. Peserta PBI Jaminan Kesehatan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Di awal implementasi program jaminan kesehatan, 1 Januari 2014, kepesertaan wajib jaminan kesehatan telah ditentukan dalam peraturan presiden paling sedikit meliputi:

Menilai Karya Melalui Resensi

Anggota TNI/Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Pertahanan dan anggota keluarganya;

Peserta asuransi kesehatan Perusahaan Persero Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) dan anggota keluarganya; dan

Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Perusahaan Persero Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) dan anggota keluarganya.

Selain kepesertaan di atas, kewajiban melakukan pendaftaran kepesertaan Jaminan Kesehatan juga berlaku bertahap bagi:

Pemberi kerja pada Badan Usaha Milik Negara, usaha besar, usaha menengah, dan usaha kecil paling lambat tanggal 1 Januari 2015;

Meskipun Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ditentukan bertahap sebagaimana tersebut di atas, BPJS Kesehatan tetap berkewajiban menerima pendaftaran kepesertaan yang diajukan oleh pemberi kerja, PBPU, maupun BP, mulai tanggal 1 Januari 2014….

Peserta yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah masuk dalam kelompok Peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan. Setiap orang berpeluang memperoleh kepesertaan PBI melalui beberapa kemungkinan berikut:

ditetapkan pemerintah (kementerian sosial) sebagai fakir miskin dan orang tidak mampu penerima bantuan iuran

mengalami pemutusan hubungan kerja hingga minimal 6 (enam) bulan tidak bekerja kembali dan tidak mampu

Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran sebagaimana telah diubah dengan PP No. 76 Tahun 2015 (PP PBI) mengatur lebih lanjut mengenai PBI JK. PP pelaksana ketentuan Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (6) UU SJSN ini mengatur aspek-aspek berikut:

Menteri Sosial menetapkan kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu yang menjadi dasar bagi Badan Pusat Statistik (BPS) untuk melakukan pendataan (Pasal 2 PP PBI). Pada saat buku ini ditulis, kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu ditetapkan dalam Keputusan Menteri Sosial Nomor 146 tahun 2013 tentang Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu.

Menteri Sosial memverifikasi dan memvalidasi hasil pendataan BPS menjadi data terpadu dan mengoordinasikannya dengan menteri keuangan dan/atau pimpinan lembaga terkait. Pemerintah provinsi dan kabupaten kota merinci data terpadu tersebut dan menjadikan  dasar bagi penentuan jumlah nasional PBI jaminan kesehatan. Menteri Sosial menyampaikan data terpadu kepada Menteri Kesehatan dan DJSN (Pasal 4 sd. Pasal 6 PP PBI). Pada saat buku ini ditulis, Tata cara verifikasi dan validasi tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 5 tahun 2016 tentang Pelaksanaan PP No. 76 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 101 Tahun 2012 tentang PBI Jaminan Kesehatan.

Berdasarkan PP PBI, Kementerian Sosial memiliki peran sentral dalam penetapan PBI. Namun demikian, penulis masih mempertanyakan implementasi dari ketentuan tersebut. Pada saat ini, BPS melakukan pendataan fakir miskin dan tidak mampu menggunakan kriteria tersendiri. Hasil pendataan BPS merupakan Basis Data Terpadu (BDT)[1], setelah diverifikasi dan divalidasi untuk penentuan jumlah nasional PBI Jaminan Kesehatan oleh Kementerian. Apabila perintah Pasal 2 PP PBI dilaksanakan dengan konsisten untuk kepentingan penetapan PBI JKN, maka Kementerian Sosial memiliki pekerjaan berat untuk memverifikasi dan memvalidasi hasil pendataan BPS agar tepat sasaran sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. 

Tantangan terberat Kementerian Sosial:  demi keadilan sosial, menetapkan PBI JKN secara valid agar menyasar peserta secara tepat sehingga mempekercil potensi pemanfaatan data untuk alat politik,.

 Basis Data Terpadu, faktor krusial dalam menentukan pencapaian tingkat kepesertaan JKN dan penerimaan iuran JKN. Mengingat saat ini  “berkat” BDT, peserta PBI mencapai 92.380.352 jiwa dari total 187.982.949 jiwa peserta jaminan kesehatan nasional atau hampir 50% dari total peserta JKN, dengan total iuran yang dibayarkan oleh pemerintah mencapai  Rp. 25,3 triliun atau sekitar 34% dari total Rp74.399 triliun penerimaan iuran JKN (BPJS Kesehatan, Desember 2017). Angka ini signifikan mengkait jumlah penduduk yang besar, sehingga sangat potensial dimanfaatkan kepentingan politik rezim yang sedang berkuasa. Oleh sebab itu, penetapan PBI JKN harus benar-benar valid, potensi politisasi wajib dicegah, agar penetapan PBI tepat sasaran, dan menciptakan keadilan sosial. Selain itu, metode/mekanisme verifikasi dan validati oleh Kementerian Sosial juga perlu dievaluasi dan  diperbaharui agar semakin teruji tingkat validitas data PBI.…

[1]    BDT adalah sistem data elektronik berisi data nama dan alamat yang memuat informasi sosial, ekonomi, dan demografi dari individu dengan status kesejahteraan terendah di Indonesia (Pasal 1 Permensos 10 Tahun 2016).

Peserta Bukan PBI JK merupakan peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu yang dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain dengan menambahkan iuran. Kepesertaan ini merupakan kepesertaan kolektif, artinya pendaftar wajib mengikutsertakan anggota keluarga. Yang dimaksud anggota keluarga adalah istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah, sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang. Sedangkan yang dimaksud dengan anggota keluarga yang lain adalah anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu, dan mertua. (Pasal 20 UU SJSN). Anggota keluarga peserta berhak atas manfaat jaminan kesehatan.

Perpres 82/2018 mengatur lebih lanjut Peserta Bukan PBI JK lebih lanjtu sebagai berikut:

Pekerja/pegawai yang tidak termasuk dalam huruf a sampai dengan huruf g yang menerima upah.

PPU dan anggota keluarganya meliputi PPU, istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah, paling banyak 4 (lempat) orang, dengan kriteria:

belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua puluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal. (Pasal 5 Perpres 82/2018)

Pekerja yang tidak termasuk dalam huruf a yang bukan penerima upah. (Pasal 4 ayat (3) Perpres 82/2018.

Jika melihat ketentuan umum UU SJSN, maka warga negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan, juga termasuk didalamnya.

BP yang tidak termasuk dalam huruf a sampai dengan huruf e yang mampu membayar iuran.(Pasal 4 ayat (4) Perpres 82/2018.…

Kepesertaan jaminan sosial kesehatan dimulai sejak peserta membayarkan iuran secara mandiri ataupun dibayarkan pemerintah. Peserta yang telah membayarkan iurannya berhak atas manfaat jaminan kesehatan.

Penerimaan manfaat selain peserta sendiri, UU SJSN menentukan, istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah, sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang juga berhak menerima manfaat jaminan kesehatan. Kepesertaan juga berlaku bagi anggota keluarga yang lain yang menjadi tanggungan peserta dengan penambahan iuran.

Termasuk sebagai anggota keluarga yang lainnya, yaitu anak ke-4 dan seterusnya, ayah, ibu, dan mertua. Peserta yang bekerja pada sektor formal agar dapat mengikutkan anggota keluarga yang lain tersebut, memberikan surat kuasa kepada pemberi kerja untuk menambahkan iurannya kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan).

Kepesertaan Jaminan Kesehatan meningkat signifikan sejak awal beroperasinya BPJS Kesehatan, 1 Januari 2014. Ada beberapa ketentuan yang mendorong peningkatan tersebut terjadi, yaitu:…

Kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat wajib dan mencakup seluruh penduduk Indonesia. Kepesertaan wajib, berdasarkan studi kasus yang dilakukan oleh WHO di 12 negara di Asia dan Pasifik pada tahun 2005, merupakan satu-satunya cara agar

menjadi penting di sini, mengingat fungsi redistribusi pendapatan program jaminan sosial dapat membantu menekan angka kemiskinan dan membantu percepatan pertumbuhan ekonomi. Atas dasar inilah

Hasil studi WHO di 12 negara di Asia dan Pasifik menunjukkan bahwa penerapan kepesertaan wajib adalah satu-satunya cara agar universal coverage dapat tercapai.

, namun penerapannya di Indonesia tidak serta merta diterima. Beberapa elemen masyarakat ada yang menolak dan menggugat ke Mahkamah Konstitusi, salah satu alasan yang mencuat adalah karena prinsip ini menghilangkan kesempatan masyarakat untuk memilih penyelenggara jaminan kesehatan yang lain, ataupun bagi masyarakat yang telah memiliki jaminan pemeliharaan terpaksa memiliki dua jaminan sehingga harus mengeluarkan iuran/premi ganda.

Beruntungnya Mahkamah berpandangan lain. Menurut Mahkamah prinsip ini sejalan dengan tugas negara, untuk melindungi tumpah darah Indonesia. Mahkamah Konstitusi memutuskan prinsip kepesertaan wajib dalam UU SJSN tidak bertentangan dengan konstitusi, salah satu pertimbangan pokoknya bahwa penerapan prinsip kepesertaan wajib merupakan langkah baru agar jaminan pemeliharaan kesehatan dapat dikelola tersendiri dengan tujuan agar kepesertaan program jaminan pemeliharaan kesehatan dapat mencakup seluruh masyarakat Indonesia. Para pekerja dapat mengikuti dengan cara mendaftarkan kembali dalam program BPJS Kesehatan. Pendaftaran tersebut bertujuan agar pekerja berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kewajiban membayar iuran kepesertaan program BPJS Kesehatan setiap bulan. Lebih lanjut Mahkamah menjelaskan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (4) UU 40/2004, pembentukan BPJS dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan dinamika perkembangan jaminan sosial dengan tetap memberi kesempatan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang telah ada dalam mengembangkan cakupan kepesertaan dan program jaminan sosial.

Kepesertaan wajib diterapkan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya. Mahkamah berpendapat bahwa pelaksanaan pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa tujuan…

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, para pihak yang berhak dan wajib mendaftar menjadi peserta JK dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

Pemerintah/pemerintah daerah, berdasarkan Pasal 14 UU SJSN, wajib   mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara bertahap. Berdasarkan Pasal 12 Perpres 82/2018, Penduduk yang belum terdaftar sebagai Peserta Jaminan Kesehatan dapat didaftarkan pada BPJS Kesehatan oleh Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota.

Selain itu, berdasarkan Pasal 25 Perpres 82/2018, pemerintah daerah kabupaten / kota melakukan pendaftaran dan perubahan data kepesertaan PPU untuk kepala desa dan perangkat desa.

Pemerintah sebagai pemberi kerja, berdaasarkan Pasal 13 UU SJSN, wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti, secara bertahap.

Pemberi Kerja selain penyelenggara negera berdasarkan ketentuan Pasal 13 UU SJSN wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti, secara bertahap.

Pekerja berhak mendaftarkan dirinya sebagai peserta Jaminan Kesehatan. Apabila pemberi kerja secara nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerja bersangkutan kepada BPJS Kesehatan, pekerja dapat mendaftarkan diri dengan melampirkan dokumen yang membuktikan status ketenagakerjaannya.[1] Norma ini bersumber dari amar Putusan Mahkamah Konstitusi, Perkara No. 70/PUU-IX/2011, bahwa Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN selengkapnya harus dibaca:

Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti dan pekerja berhak untuk mendaftarkan diri sebagai peserta jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada BPJS.

Pertimbangan Hukum MK mengeluarkan amar tersebut bahwa pada kenyataannya banyak pemberi kerja yang enggan melaksanakan kewajibannya untuk mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta jaminan sosial, sehingga banyak pula pekerja yang kehilangan hak-haknya atas jaminan sosial yang dilindungi konstitusi. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun ada sanksi pidana atas kelalaian pemberi kerja tersebut, akan tetapi hal itu hanya untuk memberi sanksi pidana bagi perusahaan atau pemberi kerja, sedangkan hak-hak pekerja atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia…

Setiap peserta BPJS Kesehatan berhak memperoleh nomor identitas tunggal yang diberikan secara khusus oleh BPJS untuk menjamin tertib administrasi atas hak dan kewajiban setiap peserta. Nomor identitas tunggal berlaku untuk semua program Jaminan Sosial[1]. Program jaminan sosial berdasarkan UU SJSN meliputi 5 (lima) program, yaitu: Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian.

Nomor identitas tunggal dalam Pasal 8 Perpres 82/2018 JK dijabarkan sebagai identitas peserta berupa Kartu Indonesia Sehat yang sedikitnya memuat 2 (dua) informasi, yaitu:

Nomor identitas peserta ini terintegrasi dengan Nomor Identitas Kependudukan, kecuali untuk bayi baru lahir dari ibu peserta PBI.…

Kepesertaan jaminan kesehatan dapat berubah dalam 2 (dua) kejadian, yaitu: peserta PBI menjadi peserta Non-PBI, dan peserta Non-PBI menjadi peserta PBI. Perpres 82/2018 JK mengatur perubahan status kepesertaan dari peserta PBI Jaminan Kesehatan menjadi bukan peserta PBI Jaminan Kesehatan terjadi melalui pendaftaran ke BPJS Kesehatan dengan membayar iuran pertama. Perubahan status tidak memutus manfaat Jaminan Kesehatan.

Perubahan status kepesertaan dari peserta Non-PBI menjadi peserta PBI dapat terjadi karena menjadi fakir miskin dan tidak mampu, atau peserta mengalami cacat total tetap dan tidak mampu.…

Perubahan data kepesertaan meliputi perubahan data diri dan anggota keluarganya. Perubahan data kepesertaan dapat meliputi perubahan:

Perpres 82/2018 JK mengatur bahwa peserta PPU wajib menyampaikan perubahan data kepesertaan kepada pemberi kerja. Perubahan data tersebut dalam 7 (tujuh) hari wajib ditindaklanjuti oleh pemberi kerja dengan melaporkannya kepada BPJS Kesehatan. Namun, apabila pemberi kerja secara nyata-nyata tidak melaporkan perubahan data tersebut kepada BPJS Kesehatan, peserta dapat melaporkan perubahan data kepesertaan secara langsung kepada BPJS Kesehatan.

Kewajiban melaporkan perubahan data kepesertaan juga berlaku bagi peserta PBPU, peserta BP, dan peserta yang berpindah kerja. Bagi peserta yang pindah kerja selain melaporkan data kepesertaannya, juga identitas pemberi kerja yang baru kepada BPJS Kesehatan dengan menunjukkan identitas peserta.

Peserta dituntut aktif melapor perubahan data kepesertaan ke BPJS Kesehatan. Pada saat buku ini ditulis, Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2014, mengatur setiap kerugian yang timbul akibat kelalaian pelaporan tersebut menjadi tanggungan peserta.[1] Contohnya, risiko kelalaian peserta dalam melaporkan perubahan jumlah anggota keluarganya akibat kematian:

Tagihan iuran peserta A setiap bulannya Rp204.000,- untuk iuran kelas 2 (dua) bagi empat anggota keluarga dalam satu KK (Kartu Keluarga).[2] Salah satu anggota keluarga peserta A meninggal dunia, karenanya iuran yang dibayarkan peserta seharusnya berubah menjadi Rp 153.000,-, namun peserta A tidak melaporkan anggota keluarganya yang meninggal tersebut kepada BPJS Kesehatan, akibatnya tagihan iuran sebesar Rp204.000,- tersebut akan terus berjalan.

Pasal 27 Perpres 82/2018 JK mengatur bahwa peserta yang mengalami PHK tetap memperoleh hak manfaat Jaminan Kesehatan di ruang perawatan kelas III tanpa membayar iuran, paling lama 6 (enam) bulan sejak mengalami PHK dengan kriteria:

Apa Perbedaan Resensi Buku Fiksi Dan Non Fiksi

PHK yang sudah ada putusan pengadilan hubungan industrial, dibuktikan dengan putusan/akta pengadilan hubungan industrial;

Yang Bukan Dimaksud Dengan Kepengarangan Dalam Resensi Buku Adalah - The Best Critical Thinkers

PHK karena perusahaan pailit atau mengalami kerugian, dibuktikan dengan putusan kepailitan dari pengadilan; atau

PHK karena Pekerja mengalami sakit yang berkepanjangan dan tidak mampu bekerja, dibuktikan dengan surat dokter.

.  Enam bulan pasca PHK, peserta wajib memperpanjang status kepesertaannya dengan membayar iuran. Apabila tidak bekerja kembali dan tidak mampu, peserta berhak didaftarkan sebagai peserta PBI Jaminan Kesehatan.

[1]    Pasal 28 Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan, menyatakan segala kerugian dan/atau biaya yang terjadi akibat keterlambatan dan/atau kelalaian pelaporan perubahan data Peserta Jaminan Kesehatan menjadi beban Peserta.

[2]    Pasal 3 Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No. 16 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Penagihan dan Pembayaran Iuran Jaminan Kesehatan Nasional, tagihan iuran Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja adalah bersifat kolektif untuk seluruh anggota keluarga sebagaimana yang terdaftar pada kartu keluarga dan/atau yang sudah didaftarkan sebagai anggota keluarga.…

Peserta membayarkan Iuran kepada BPJS Kesehatan. Iuran dapat bersumber dari beberapa pihak, yakni peserta sendiri, salah satu anggota keluarga peserta, pemberi kerja, dan pemerintah. Iuran PPU dibayarkan pekerja dan pemberi kerja, sedangkan selain PPU dibayarkan pemerintah, salah satu anggota keluarganya, atau sendiri dari sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Iuran peserta JK memiliki fungsi sentral untuk pembiayaan pelayanan kesehatan dan  keberlangsungan program JK. Pembayaran manfaat dan pembiayaan operasional penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan berasal dari himpunan iuran peserta beserta hasil pengembangannya. Iuran yang terhimpun dikelola dan diinvestasikan sebagai dana amanat untuk sebesar-besarnya kemanfaatan peserta. Mekanisme ini melibatkan peran aktif BPJS Kesehatan dalam mengumpulkan iuran dari peserta

dengan cermat, hati-hati, transparan, efisien dan efektif untuk sebesar-besarnya kepentingan perlindungan kesehatan peserta.[1]

Pada awal pemberlakuan, ketentuan wajib mengiur mendapat banyak penolakan dari banyak pihak. Ada kelompok masyarakat yang mengajukan uji materi ke MK, pasal-pasal UU SJSN yang mengatur wajib iur dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945. Dalam catatan penulis, Pasal 17 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) jo. Pasal 27  UU SJSN mengenai  iuran telah 5 (lima) kali dimintakan pembatalan, dengan nomor register sebagai berikut:

MK menolak kelima permohonan tersebut dengan beberapa pertimbangan, di antaranya bahwa dalam UU SJSN kepesertaan asuransi diwajibkan untuk setiap orang yang memenuhi syarat yang ditentukan dalam UU SJSN sehingga menjadi peserta asuransi bersifat imperatif. Perikatan antara tertanggung (peserta) dengan penanggung (BPJS) dalam jaminan sosial juga timbul karena undang-undang yang kepesertaannya dimulai setelah yang bersangkutan membayar iuran dan/atau iurannya dibayar oleh pemberi kerja. Bagi mereka yang tergolong fakir miskin dan orang yang tidak mampu maka iurannya dibayar oleh pemerintah (vide Pasal 17 ayat (4) UU SJSN).[2]

Menurut pertimbangan MK, mengenai iuran asuransi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU SJSN merupakan konsekuensi yang harus dibayar oleh semua peserta asuransi untuk membayar iuran atau premi yang besarnya telah ditentukan berdasarkan ketentuan yang berlaku yang tidak semuanya dibebankan kepada negara. Dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 konsep SJSN adalah pemerintah membiayai yang tidak mampu membayar iuran, yang bersesuaian  dengan Pasal 17 ayat (4) UU SJSN.  Menurut Mahkamah UU SJSN telah menerapkan prinsip asuransi sosial dan kegotongroyongan yaitu dengan cara mewajibkan bagi yang mampu untuk membayar premi atau iuran yang selain untuk dirinya sendiri juga sekaligus untuk membantu warga yang tidak mampu.[3]

Iuran wajib yang proporsional dari upah menciptakan subsidi silang antar masyarakat. Masyarakat dengan upah kecil akan membayar iuran lebih kecil, namun ketika sakit tetap mendapat pelayanan kesehatan tanpa perbedaan dengan masyarakat yang memiliki upah lebih tinggi. Pada prinsipnya iuran wajib adalah sama dengan Pajak Penghasilan (PPh), iuran asuransi sosial disebutkan juga sebagai pajak jaminan sosial (

). Perbedaannya adalah PPh bersifat progresif di mana semakin banyak upah yang diterima maka semakin besar pajak yang harus dibayarkan, sedangkan iuran bersifat regresif. Selain itu, PPh menganut sistem residual, tidak inklusif layanan kesehatan karena penggunaan dananya tidak ditentukan di muka, sedangkan pada asuransi sosial penggunaan dan hanya terbatas untuk membayar manfaat asuransi yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Karena sifatnya yang wajib, sama dengan PPh, maka pengelolaan asuransi sosial haruslah dilakukan secara nirlaba sehingga bentuknya harus…

[2] Lihat, Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi, dalam putusan Perkara No. 50/PUU-VIII/2010

UU SJSN menentukan pemerintah menetapkan besaran iuran secara berkala dengan memperhatikan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan hidup dasar yang layak. Penetapan besaran iuran berlaku bagi:[1]

berdasarkan persentase  dari upah sampai batas tertentu yang secara bertahap ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja. Pemerintah meninjau batas upah secara berkala.

Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta yang tidak menerima upah ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala.

Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk penerima bantuan iuran ditentukan  berdasarkan nominal yang ditetapkan secara berkala. Besaran iuran JKN, termasuk ditetapkan dalam Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan. Besaran anggaran APBN untuk iuran PBI diusulkan oleh DJSN. Berdasarkan usulan DJSN ini Menteri Kesehatan mengajukannya ke Menteri Keuangan (Pasal 10, PP PBI).

Penetapan besaran iuran akan ditinjau oleh Pemerintah paling lama setiap 2 (dua) tahun sekali. Sebagai contoh, penetapan besaran iuran JK pada tahun 2018, ditetapkan oleh Pemerintah, dalam kelompok sebagai berikut:…

Veteran, perintis kemerdekaan, dan janda, duda, atau anak yatim piatu dari veteran/perintis kemerdekaan

Tata cara pembayaran iuran menyangkut 4 (empat) jenis kegiatan yang berangkaian. rangkaian kegiatan tersebut meliputi pemungutan iuran, penyetoran iuran, pembayaran, dan mekanisme penyelesaian kelebihan dan kekurangan bayar iuran.

Pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, membayar iuran yang menjadi tanggung jawabnya, dan menyetorkan iuran tersebut kepada BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 10 setiap bulan.

Pemberi kerja pemerintah daerah menyetorkan iuran melalui rekening kas negara kepada BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 10 setiap bulan, berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Sedangkan tata cara pembayaran iuran bagi PPU lebih lanjut diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.

PBPU dan peserta bukan penerima membayarkan iurannya paling lambat tanggal 10 setiap bulannya, dan dapat dibayarkan untuk lebih dari 1 (satu) bulan yang dilakukan di awal. BPJS Kesehatan wajib mengembangkan mekanisme penarikan iuran yang efektif dan efisien bagi peserta PBPU dan peserta BP.

Kelebihan dan kekurangan bayar iur mungkin terjadi. Pasal 45 Perpres 82/2018 JK mengatur BPJS Kesehatan menghitung, apabila terjadi kelebihan atau kekurangan iuran Jaminan Kesehatan sesuai dengan gaji atau upah pekerja, BPJS Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada pemberi kerja dan/atau peserta paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya iuran. Kelebihan atau kekurangan iuran akan diperhitungkan dan disertakan dalam tagihan pembayaran iuran bulan selanjutnya.…

Manfaat jaminan kesehatan sangat komprehensif bagi peserta. Berdasarkan Pasal 22 UU SJSN, manfaat tersebut bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Penjelasan Pasal 22 ayat (1) UU SJSN, yang dimaksud pelayanan kesehatan meliputi pelayanan dan penyuluhan kesehatan, imunisasi, pelayanan Keluarga Berencana, rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat dan tindakan medis lainnya, termasuk cuci darah dan operasi jantung. Pelayanan tersebut diberikan sesuai dengan pelayanan standar, baik mutu maupun jenis pelayanannya dalam rangka menjamin kesinambungan program dan kepuasan peserta. Luasnya pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang dapat berubah dan kemampuan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Hal ini diperlukan untuk kehati-hatian.

Pengaturan lebih lanjut manfaat jaminan kesehatan ditentukan Pasal 46 Perpres 82/2018, bahwa menjelaskan manfaat Jaminan Kesehatan tersebut  terdiri atas Manfaat medis dan Manfaat nonmedis. Manfaat medis diberikan sesuai dengan indikasi medis dan standar pelayanan serta tidak dibedakan berdasarkan besaran Iuran Peserta. Sedangkan manfaat nonmedis diberikan berdasarkan besaran Iuran Peserta. Manfaat juga berlaku bagi bayi baru lahir dari Peserta paling lama 28 (dua puluh delapan) hari sejak dilahirkan.

Manfaat jaminan kesehatan yang menjadi hak peserta, baik medis maupun nonmedis dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Pelayanan kesehatan perorangan, meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif;

Selain manfaat tersebut,  menteri kesehatan dapat menetapkan penjaminan manfaat pelayanan kesehatan lain, yang ditetapkan dengan mempertimbangkan penilaian teknologi kesehatan dan perhitungan kecukupan Iuran. Penetapan manfaat lain tersebut setelah berkoordinasi dengan…

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya manfaat jaminan kesehatan berupa pelayanan kesehatan bagi perseorangan. Mnafaat ini dapat dikelompokan  dalam: manfaat non-medis, promotif dan preventif, manfaat pelayanan non spesialistik dan spesialistik, dan ambulan darat maupun laut

Manfaat non-medis meliputi pelayanan akomodasi. Pasal 50 Perpres 82/2018 JKN mengatur manfaat akomodasi berupa layanan rawat inap sebagai berikut:

Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah;

Peserta PBPU dan peserta BP yang membayar iuran untuk manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III; dan

Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;

Prajurit dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;

Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;

Peserta PPU selain angka 1 sampai dengan angka 3, kepala desa dan perangkat desa, pekerja/pegawai lainnya dengan gaji atau upah sampai dengan Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah); dan

Peserta PBPU dan peserta BP yang membayar iuran untuk manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II.

Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun pegawai negeri sipil golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya;

Anggota TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya;

Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya;

Peserta PPU selain angka 1 sampai dengan angka 5, kepala desa dan perangkat desa, pekerja dan pegawai lainnya dan Pegawai Pemerintah Non-Pegawai Negeri dengan gaji atau upah di atas Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah); dan

Peserta PBPU dan peserta BP yang membayar iuran untuk manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I.

Peserta yang menginginkan kelas yang lebih tinggi dari pada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan. Selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya atas kelas yang lebih tinggi dari haknya dapat dibayar oleh:

Hal ini dikecualikan bagi PBI Jaminan Kesehatan dan peserta yang didaftarkan oleh pemerintah daerah. Pembayaran selisih oleh pemberi kerja tidak termasuk untuk peserta yang didaftarkan oleh pemerintah daerah.…

Tidak semua pelayanan kesehatan di jaminan dalam program jaminan kesehatan. Berdasarkan Pasal 52 Perpres 82/2018, terdapat beberapa pelayanan kesehatan yang tidak dijamin, meliputi:

pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

pelayanan kesehatan yang dilakukan di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, kecuali dalam keadaan darurat;

pelayanan kesehatan terhadap penyakit atau cedera akibat Kecelakaan Kerja atau hubungan kerja yang telah dijamin oleh program jaminan Kecelakaan Kerja atau menjadi tanggungan Pemberi Kerja;

pelayanan kesehatan yang dijamin oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas yang bersifat wajib sampai nilai yang ditanggung oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas sesuai hak kelas rawat Peserta;

gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri;

Sinopsis Pengertian Fungsi Ciri Ciri Dan Langkah Membuatnya

pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan penilaian teknologi kesehatan;

pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan atau eksperimen;

pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biasa/wabah;

UU SJSN menentukan untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya. Jenis pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang membuka peluang moral hazard (sangat dipengaruhi selera dan perilaku peserta), misalnya pemakaian obat-obat suplemen, pemeriksaan diagnostik, dan tindakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan medik. Urun biaya harus menjadi bagian upaya pengendalian, terutama upaya pengendalian dalam menerima pelayanan kesehatan. Penetapan urun biaya dapat berupa nilai nominal atau persentase tertentu dari biaya pelayanan, dan dibayarkan kepada fasilitas kesehatan pada saat peserta memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 22 ayat (2) jo. Pasal 24 ayat (3) UU SJSN).…

Peserta berhak mendapat pelayanan kesehatan dalam keadaan darurat. Pasal 23 UU SJSN mengatur bahwa dalam keadaan darurat, pelayanan dapat diberikan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Pasal 65 Perpres 82/2018 menjabarkan mandat UU SJSN tersebut dengan mengatur bahwa peserta yang memerlukan pelayanan gawat darurat dapat langsung memperoleh pelayanan di setiap Fasilitas Kesehatan. Peserta yang menerima pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, harus segera dirujuk ke Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dalam kondisi dapat dipindahkan.

Selain kriteria tersebut, Menteri Kesehatan dapat menetapkan kriteria gawat darurat yang lain.…

7.E. Pelayanan Kesehatan di Daerah Tanpa Fasilitas Kesehatan yang Memenuhi Syarat

Kemanfaatan mendapat kompensasi. UU SJSN mengatur bahwa dalam hal di suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medik sejumlah peserta, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan kompensasi dalam bentuk uang tunai sesuai dengan hak peserta. Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar. Pasal 64 Perpres 82/2018, mengatur lebih lanjut bahwa BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi kepada peserta,  dalam hal belum tersedianya fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medisnya. Kompensasi tersebut dapat berupa penggantian uang tunai yang digunakan untuk biaya pelayanan kesehatan. Selain uang tunai, BPJS Kesehatan dapat bekerja sama dengan pihak lain untuk menyediakan Fasilitas Kesehatan. Lebih lanjut perpres mendelegasikan pengaturan kompensasi kepada menteri kesehatan

Pada saat buku ini ditulis, implementasi peraturan kompensasi belum berjalan efektif. BPJS Kesehatan masih dalam tahap uji coba dan pengembangan konsep Pemberian Kompensasi di Daerah Belum Tersedia Fasilitas Kesehatan yang Memenuhi Syarat. Uji coba dilaksanakan di 6 Kabupaten yaitu Aceh Barat, Anambas, Malinau, Mamuju, Ende, dan Nduga (BPJS Kesehatan, Desember 2017).…

Peserta JK juga berhak atas manfaat pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang penetapan daftar dan harganya sesuai dengan peraturan perundang-udangan (Pasal 25 UU SJSN). Penetapan daftar dan plafon harga tersebut wajib mempertimbangkan perkembangan kebutuhan medik, ketersediaan, serta efektivitas dan efisiensi obat atau bahan medis habis pakai.

Kemudian Pasal 59 Perpres 82/2018 JK mengatur bahwa pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai untuk peserta Jaminan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan berpedoman pada daftar dan harga obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang ditetapkan oleh menteri. Sebelum ditetapkan menteri, daftar obat dan harga obat, alat kesehatan, dan bahan habis pakai disusun secara transparan dan akuntabel oleh Komite Nasional yang terdiri atas unsur Kementerian Kesehatan Badan Pengawas obat dan makanan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, BPJS Kesehatan, Asosiasi Profesi, Perguruan Tinggi, dan tenaga ahli. Daftar obat, alat kesehatan, bahan medis habis pakai tersebut dituangkan dalam Formularium Nasional dan Kompendium Alat Kesehatan.…

Yang Bukan Dimaksud Dengan Kepengarangan Dalam Resensi Buku Adalah - The Best Critical Thinkers

Prosedur pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang. Pasal 55 Perpres 82/2018 mengatur prosedur bagi peserta dalam mengakses layanan kesehatan yang menjadi haknya. Ketentuan terkait prosedur pelayanan kesehatan sebagai berikut:

Pelayanan kesehatan berjenjang sesuai kebutuhan medis dan kompetensi Fasilitas Kesehatan.

Pelayanan dimulai dari FKTP tempat Peserta terdaftar, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan medis, atau peserta berada di luar wilayah FKTP tempat Peserta terdaftar;

Pelayanan dalam keadaan peserta di luar wilayah FKTP terdaftar diberikan dengan ketentuan :

dalam hal peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, FKTP wajib merujuk ke FKRTL sesuai dengan kasus dan kompetensi Fasilitas Kesehatan serta sistem rujuk,

FKRTL melayani peserta yang dirujuk dibatasi waktu, paling lama 3 (tiga) bulan, setelah itu wajib merujuk balik peserta ke FKTP tempat Peserta terdaftar.

Menteri Kesehatan mengatur lebih lanjut ketentuan pelayanan kesehatan tingkat pertama, pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, dan pelayanan rujuk balik dengan Peraturan Menteri.…

Makna kepatuhan dalam KBBI adalah sikap patuh; ketaatan. Kepatuhan hukum di bidang jaminan sosial dimaksudkan sebagai sikap patuh setiap orang terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang termuat dalam peraturan perundang-undangan di bidang jaminan sosial kesehatan Indonesia. Ciri utamanya adalah adanya tindakan konkret dari subjek hukum bersangkutan, ada kesediaan untuk bekerja sama menjalankan perintah pihak berwenang,  maupun perintah yang termuat dalam peraturan perundang-undangan.

Kepatuhan hukum seseorang dapat bersumber dari penilaian subjektifnya mengenai nilai-nilai yang diyakininya. Misalnya, kepatuhan seseorang dalam membayar iuran Jaminan Kesehatan, didasari keyakinan bahwa iuran yang dibayarkan adalah derma yang ia berikan untuk sesamanya. Kepatuhan hukum juga dapat bersumber dari pengetahuan (

), kemudian dari kesadaran tersebut tumbuh sikap dan perilaku patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan (

Kepesertaan wajib jaminan sosial kesehatan menuntut kepatuhan setiap warga negara. Kepatuhan hukum di bidang jaminan sosial kesehatan dapat dimaknai sebagai pelaksanaan kewajiban para pihak berdasarkan peraturan perundang-undangan agar sistem hukum jaminan sosial kesehatan berjalan secara efektif dan efisien. Ketiadaan pengetahuan mengenai peraturan perundang-undangan tidak dapat menjadi alasan untuk tidak patuh. Ada adagium hukum bahwa setiap orang dianggap tahu (

Pada bab terdahulu telah dibahas bahwa hukum sebagai sistem terdiri dari komponen-komponen yang bekerja secara kompleks dengan melibatkan banyak pihak. Berfungsinya suatu sistem hukum bergantung dari kelengkapan dan berfungsinya bagian-bagian tersebut.

Kepatuhan membentuk budaya hukum masyarakat. Sedangkan budaya hukum merupakan komponen terpenting dari sistem hukum di samping struktur dan substansi. Dengan adanya kepatuhan hukum, struktur/pranata dapat bergerak dan substansi terus berkembang, sehingga sistem jaminan sosial kesehatan dapat berfungsi secara berkelanjutan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan di Indonesia.

Ketentuan kewajiban di bidang jaminan sosial kesehatan berasal dari berbagai sumber. Ada yang bersumber dari perintah undang-undang secara langsung, mandat, pendelegasian, kontrak yang berlaku sebagai undang-undang bagi pihak berkontrak, maupun perintah-perintah yang tertuang dalam naskah hukum lainnya.

Pengetahuan akan isi peraturan perundang-undangan berperan dalam membangun kepatuhan hukum. Oleh sebab itu, penulis mengidentifikasi kewajiban-kewajiban para pihak di bidang jaminan sosial kesehatan agar buku ini dapat berperan dalam pembangunan kepatuhan hukum yang dimaksud. Kewajiban yang penulis dapat identifikasi adalah sebagai berikut:…

Kewajiban di bidang jaminan sosial kesehatan dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bidang jaminan sosial kesehatan yang telah membentang luas. Melalui identifikasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bidang jaminan sosial, dapat ditentukan pihak-pihak/subjek hukum sebagai berikut:

Kewajiban hukum pemberi kerja di bidang jaminan sosial kesehatan mencakup 5 (lima) kegiatan, yaitu:

mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.

memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.

, Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban peserta dari pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.

pemberi kerja wajib membayar dan menyetor iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS. Besar iuran jaminan kesehatan untuk PPU ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari upah, dan dibagi dua persentase yang menjadi tanggungan pekerja dan persentase yang menjadi tanggungan pemberi kerja (Psl. 19 UU BPJS jo. Psl. 17 UU SJSN).

c.     Kewajiban memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya

Pemberi kerja selain penyelenggara negara wajib memberikan data dirinya dan pekerjanya berikut anggota keluarganya kepada BPJS secara lengkap dan benar. Data tersebut meliputi:…

merupakan perbuatan curang yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang harus ditindak dengan tegas karena dapat mengganggu kapasitas sistem dalam memberikan manfaat kepada peserta. Pelanggaran atas larangan diancam dengan sanksi. Kecurangan pada dasarnya merupakan perbuatan pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengaturnya dalam  Buku 11, Bab. XXV, Pasal 378-395. Pelaku harus ditindak, mengingat jaminan kesehatan dibangun atas dasar kepercayaan. Manfaat jaminan sosial kesehatan berupa barang tidak berwujud (

) yang tidak dapat dinikmati langsung oleh peserta, dan karenanya ada potensi keragu-raguan dari peserta sampai akhirnya mereka dapat menikmati manfaat jaminan kesehatan tersebut.

dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh peserta, petugas BPJS Kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, serta penyedia obat dan alat kesehatan untuk mendapatkan keuntungan finansial dari program jaminan kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan (Permenkes 36/2015).

Menteri Kesehatan telah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (

) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (Permenkes No. 36/2015). Materi muatan Permenkes No. 36/2015 diberlakukan dengan pertimbangan bahwa kecurangan (

) dalam penyelenggaraan program jaminan sosial kesehatan berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi dana jaminan sosial kesehatan. Pencegahan kecurangan diperlukan agar dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional dalam sistem jaminan sosial nasional dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Materi Muatan Permenkes No. 36/2015 terdiri dari 7 Bab dan 31 Pasal yang mengatur mengenai:

Pasal 92 ayat (3) Perpres 82/2018 menentukan sistem pencegahan kecurangan dibangun melalui kerja sama BPJS Kesehatan, dinas kesehatan kabupaten/kota, dan FKRTL yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, untuk melakukan kegiatan :

pengembangan pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada kendali mutu dan kendali biaya; dan

Lebih lanjut perpres menentukan sistem pencegahan Kecurangan (fraud) dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan komprehensif dengan melibatkan seluruh sumber daya manusia di BPJS Kesehatan, Fasilitas Kesehatan, dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi, Kementerian Kesehatan, dan pemangku kepentingan lainnya.

BPJS Kesehatan telah membentuk Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 7 Tahun 2016 tentang Sistem Pencegahan Kecurangan (

) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan (Per BPJS Kes No. 7/2016). Per BPJS Kes ini muatan 7 Bab, 27 Pasal,  mengatur mengenai Sistem Pengendalian Pelayanan Kesehatan  meliputi pengaturan:…

“Mekanisme kontrol merupakan salah satu ciri dasar sistem,  juga melekat dalam sistem hukum jaminan sosial kesehatan. Kontrol membangun dan menjaga keberlanjutan kerja sistem”

Salah satu pengertian dasar yang terkandung dalam sistem (Shorde & Voich: 122) adalah adanya kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol). Demikian halnya dalam sistem hukum jaminan sosial kesehatan di Indonesia, ada fungsi kontrol yang yang melekat di setiap komponen penyusunnya. Ada hukum di dalamnya yang mengatur mekanisme tersebut.

Kontrol menjadi bagian tidak terpisahkan dari upaya membangun dan menjaga sistem bekerja berkelanjutan. Kontrol dapat dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan kewajiban di bidang jaminan sosial kesehatan, maupun upaya pencegahan kecurangan (

Kontrol pelaksanaan program jaminan sosial kesehatan melibatkan peran semua pihak. Pihak-pihak yang terlibat dapat diidentifikasikan sebagai berikut:…

Peraturan perundang-undangan di bidang jaminan sosial memuat pengaturan sanksi. Sanksi dikenakan kepada pihak-pihak yang tidak patuh melaksanakan kewajiban hukum di bidang jaminan sosial kesehatan. Sanksi-sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang jaminan sosial, yaitu :

Sanksi perdata, berbentuk pembayaran ganti kerugian. Sanksi perdata dapat timbul karena perjanjian maupun demi undang-undang. Pembayaran ganti rugi karena perjanjian timbul sebagai sanksi atas wanprestasi pelaksanaan ketentuan perjanjian. Sedangkan pembayaran ganti rugi demi undang-undang timbul sebagai akibat perbuatan melanggar hukum, sehingga mengandung unsur kesalahan (lihat: Buku ke tiga, Bab III, Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang).

Sanksi administrasi, berbentuk teguran/peringatan tertulis, pemberhentian sementara maupun tetap dari jabatannya, denda administrasi, penghentian sementara pelayanan.

Pengakuan Dalam Hukum Internasional

Peraturan perundang-undangan di bidang jaminan sosial mengatur ancaman sanksi pidana bagi organ BPJS dan pemberi kerja. Sanksi pidana berkaitan dengan perbuatan pidana, dikenakan kepada barangsiapa yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana.

Setiap perbuatan pidana mengadung sifat melawan hukum. Dalam hukum pidana kata “sifat melawan hukum” adalah suatu frasa yang memiliki empat makna.

, sifat melawan hukum umum, diartikan sebagai syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan. Setiap tindak pidana didalamnya pasti mengandung unsur melawan hukum;

, sifat melawan hukum khusus, merupakan melawan hukum yang dicantumkan/dituliskan dalam rumusan delik;

, sifat melawan hukum formal, maknanya perbuatan tersebut bertentangan dengan Undang-undangan; dan

, sifat melawan hukum materiil, maknanya, perbuatan bertentangan dengan norma dan nilai-nilai masyarakat.[1]

Sanksi pidana terhadap organ BPJS merupakan sanksi yang diancamkan kepada Direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan karena perbuatan melawan hukum, yang secara khusus rumusan deliknya ditulis dalam UU BPJS. Demikian juga sanksi pidana terhadap pemberi kerja, sifat melawan hukum secara khusus dirumuskan dalam UU BPJS, sebagai berikut:

Anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi BPJS Kesehatan mendapat sanksi pidana  penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), apabila melanggar ketentuan larangan:

menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan dihapuskannya suatu laporan dalam buku catatan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial;

menempatkan investasi aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial pada jenis investasi yang tidak terdaftar pada Peraturan Pemerintah;

menanamkan investasi kecuali surat berharga tertentu dan/atau investasi peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial;

membuat atau menyebabkan adanya suatu laporan palsu dalam buku catatan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial; dan/atau…

Pengertian peraturan perundang-undangan dapat kita pelajari dari pendapat para ahli maupun dari definisi operasional yang ditetapkan pejabat berwenang. Peraturan berasal dari kata atur, mengatur, peraturan yang menyangkut kegiatan pengaturan yang berfungsi sebagai pengatur, sehingga istilah peraturan itu lebih tepat untuk dikaitkan dengan pengertian

dalam bahasa Belanda.[1] Sedangkan perundang-undangan mempunyai 2 (dua) pengertian, yaitu:

perundang-undangan merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

, perundang-undangan adalah segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.[2] Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011), menyebutkan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

proses dan tata cara pembentukannya berdasarkan peraturan. Dibentuk dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuknya (Konsiderans menimbang huruf. b UU No. 12 Tahun 2011).

Penulis hendak menggarisbawahi unsur pokok dalam uraian pengertian peraturan perundang-undangan di atas, yaitu proses pembentukan dan hasil pembentukan. Proses ini secara umum dapat diartikan sebagai

, yakni perancangan penyusuanan peraturan perundang-undangan atau dalam pengertian lain yaitu hukum yang meliputi keseluruhan peraturan negara atau peraturan perundang-undangan dari tingkat tertinggi sampai terendah.[3] Unsur pokok tersebut dapat kita temukan dalam Pasal 1 angka 1 UU No.12 Tahun 2011. Pasal ini menyebutkan bahwa Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Tahapan perencanaan hingga pengundangan mengandung makna sebagai proses baku yang wajib dilalui dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan hasil pembentukan merupakan  pengundangan peraturan perundangan melalui penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara, Tambahan Lembaran Negara, Berita Negara, Tambahan Berita Negara, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.

Pembentukan peraturan perundang-undangan menurut teori meliputi 2 (dua) masalah pokok, yaitu[4]:

, aspek materiil/substansial, aspek ini berkenaan tentang pengolahan  isi dari peraturan yang memuat asas-asas dan kaidah-kaidah hukum sampai dengan perdoman perilaku konkret dalam bentuk aturan-aturan hukum. Selain itu juga, di dalam kaidah hukum yang akan dirumuskan dalam peraturan perundang.

, aspek formal/prosedural, dimana dalam aspek ini berhubungan dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan (upaya tentang pemahaman terhadap.…

[4] Laboratorium Hukum FH UNPAR, Ketrampilan Perancangan Hukum, (Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 1997). dalam Yahya Ahmad Zein, dkk, ibid, h. 4.

Yang Bukan Dimaksud Dengan Kepengarangan Dalam Resensi Buku Adalah - The Best Critical Thinkers

Sebagaimana hierarki norma hukum, peraturan perundang-undangan di bidang Jaminan Kesehatan Nasional tersusun dalam sistem hierarki, artinya kedudukan satu peraturan merupakan pengaturan lebih lanjut (pendelegasian) dari peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi kedudukannya. Dalam sistem hierarki, peraturan satu dengan yang lain harus bersesuaian dan harmonis agar operasional untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD NRI).

Pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang jaminan sosial kesehatan dibentuk atas dasar kewenangan pejabat. Kewenangan ini bersumber dari 2 (dua) dasar, yaitu:

dasar pendelegasian, kewenangan pembentukan diperintahkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

dasar atribusi, kewenangan pembentukan berdasarkan kewenangan pejabat yang diberikan oleh undang-undang.

Peraturan perundang-undangan di bidang jaminan sosial kesehatan dapat dikelompokkan berdasarkan jenisnya, yaitu undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dan jenis peraturan perundang-undangan selain yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, misalnya Peraturan BPJS Kesehatan, Peraturan DJSN. 

Peraturan perundang-undangan di bidang jaminan sosial kesehatan berkembang cukup pesat, sejalan dengan karakter jaminan kesehatan yang sangat dinamis. Penulis menyusun daftar peraturan perundang-undangan di bidang jaminan sosial yang akan terus berkembang baik isi maupun jumlahnya, di antaranya:

Peraturan Pemerintah terkait penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan terdiri atas:

Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Program Jaminan Sosial yang Diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2016 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Badan Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional

Peraturan Pemerintah Nomor 124 Tahun 2015 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional.

Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 99  Tahun 2013

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2015 Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan…

berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga dan mempertimbangkan sesuatu. Istilah ini kemudian secara khas digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga freies ermessen (diskresionare power) diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan  administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.[1]

Peraturan kebijakan merupakan produk hukum pejabat administrasi negara yang lahir dari kewenangan mengatur kepentingan umum secara mandiri atas dasar prinsip

Pemerintah membuat peraturan kebijakan di bidang jaminan sosial kesehatan untuk melengkapi kekurangan atau kekosongan hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan di bidang jaminan sosial kesehatan. Bentuk peraturan kebijakan di antaranya dapat berupa

Menurut Bagir Manan, 1994, Peraturan kebijakan bukanlah peraturan peraturan perundang-undangan karennya asas-asas pembatasan dan pengujiannya tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijakan. Pengujian terhadap peraturan kebijakan bertitiktolak kepada

Keberlakuan Peraturan Kebijakan mengalami perkembangan. Karakter kekuatan mengikat peraturan kebijakan pada awalnya dianggap tidak mengikat secara umum dan hanya mengikat sesama badan atau pejabat administrasi, kemudian berkembang dapat ditujukan kepada lembaga lain yang bukan badan administrasi sekalipun. Bahkan peraturan kebijakan juga dapat ditujukan bagi umum dan memiliki kekuatan mengikat.[4]

Perdebatan dalam memberi pengertian Peraturan Kebijakan dalam perkembangannya selalu ada. Oleh karenanya ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk mendapat gambaran utuh karakter peraturan kebijakan, yakni[5]: Pertama latar belakang pembentukannya. Kedua, badan atau pejabat yang membentuk peraturan kebijakan serta asas-asas yang perlu diperhatikan dalam peraturan kebijakan tersebut. Ketiga, bentuk-bentuk peraturan kebijakan. Keempat, kekuatan mengikat peraturan kebijakan.

Setelah mendapat pemahaman umum mengenai Peraturan Kebijakan, dapat diidentifikasi peraturan kebijakan di bidang jaminan sosial kesehatan antara lain sebagai berikut:

Peraturan perundang-undangan di bidang jaminan sosial yang telah diuraikan sebelumnya, ada yang mendelegasikan pembentukan keputusan pejabat negara. Keputusan dapat dibuat dalam rangka melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan yang ada atau dalam rangka mengisi kekosongan hukum sebagai bagian dari

Keputusan Pejabat Negara di bidang jaminan sosial kesehatan tentunya dapat sangat dinamis perkembangannya. Penulis memberikan beberapa contoh keputusan di bidang jaminan sosial kesehatan berikut ini:

Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 2015 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Anggota Dewan Pengawas dan Calon Anggota Dewan Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

Keputusan Presiden Nomor 115 Tahun 2015 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Anggota Dewan Direksi BPJS Kesehatan

Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Pengangkatan Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional Masa Jabatan 2014-2019

Keputusan Presiden Nomor 161 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Dewan Komisaris dan Direksi PT Jamsostek menjadi Dewan Pengawas dan Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor Hk.02.02/Menkes/137/2016 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor Hk.02.02/Menkes/523/2015 tentang Formularium Nasional

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/524/2015 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Formularium Nasional…

Contoh Resensi Buku Pengertian Manfaat Unsur Dan Cara Meresensi Buku

[1] Markus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijakan dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Desertasi, dalam: Ridwan HR, 2011,

[2] J.H. van Kreveld, Beleidsregel in het Recht, Kluwer-Deventer, 1983, Dalam: Ridwan HR, ibid. h. 174

                                                                       

Asmara, Teddy. 2014. “Budaya Ekonomi Hukum Hakim; Kajian Antropologi tentang Rasionalitas Ekonomik pada Penggunaan Kebebasan Hakim dalam Penanganan Perkara di Pengadilan Negeri Kotamaju”. dalam Esmi Warassih Pujirahayu,

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI. 1999/2000. Penelitian Hukum tentang Pengembangan Budaya Hukum dalam Pembangunan Hukum Nasional.

BPJS Kesehatan. 2018. Laporan Pengelolaan Program dan Laporan Keuangan Jaminan Sosial Kesehatan Tahun 2017.

Daniel, S. Lev. 1988. “Lembaga Peradilan dan Budaya hukum di Indonesia”. dalam Peters-Koesriani Siswosoebroto,

 Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, cet. 7, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

. Dalam: Gustavson S.G., Harrington S.E. (Editor) Insurance, Risk Management, and Public Policy. Huebner International Series on Risk, Insurance and Economic Security, vol 18. Springer, Dordrecht.

. Dalam: Bryan M. (Editor) Private Law in Theory and Practice. Taylor & Francis e-Library.

. Foundations and Trends® in Microeconomics, vol 3, no 3. Hanover: now Publishers Inc.

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional.

Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.

Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No. 16 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Penagihan dan Pembayaran Iuran Jaminan Kesehatan Nasional.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/POJK.05/2013 tentang Pengawasan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan.

Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan.

Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor  99  Tahun 2013.

Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2015 Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.

Peraturan Pemerintah No. 88 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif bagi Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi BPJS.

Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan.

Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran.

Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 2013 tentang Tata Cara Hubungan Antar Lembaga BPJS.

Peraturan Pemerintah No. 90 Tahun 2013 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2003 tentang Subsidi dan Iuran Pemerintah dalam Penyelenggaraan Asuransi Kesehatan Bagi PNS dan Penerima Pensiun.

Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan.

Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.

Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.

Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pemilihan dan Penetapan Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi serta Calon Anggota Pengganti AntarWaktu Dewan Pengawas dan Direksi BPJS.

Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyusunan Peta Jalan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Bidang Kesehatan dan Bidang Ketenagakerjaan.

Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.

Peraturan Presiden No. Nomor 108 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Isi Laporan Pengelolaan Program Jaminan Sosial.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2017 tentang Pedoman Penilaian Teknologi Kesehatan (

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Jaminan Kesehatan Nasional.

Yang Bukan Dimaksud Dengan Kepengarangan Dalam Resensi Buku Adalah - The Best Critical Thinkers

) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan pada Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.

Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Tata Cara dan Mekanisme Kerja Pengawasan dan Pemeriksaan atas Kepatuhan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.

Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 7 Tahun 2016 tentang Sistem Pencegahan Kecurangan (

Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penerapan Kendali Mutu dan Kendali Biaya pada Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional.

Adhi Kristian, S.H., M.H.KES, kelahiran Semarang, 24 April 1982, menyelesaikan pendidikan Sarjana Ilmu Hukum tahun 2006, dan Magister Hukum Kesehatan tahun 2014, di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penulis memulai meneliti di bidang  jaminan sosial di Indonesia sejak tahun 2010, pada saat Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial digodok Komisi IX DPR RI.

Kariernya sebagai peneliti, dimulai pada saat menulis dan meneliti untuk www.jamsosindonesia.com, portal jaminan sosial pertama di Indonesia. (2010 sd 2016). Ketertarikannya di bidang jaminan sosial terus berlanjut hingga saat buku ini ditulis. penulis meneliti dan menulis untuk Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan Fakultas Kedokteran Keperawatan dan Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada (KPMAK FK-KMK UGM).

Penulis juga konsen terhadap perkembangan hukum dan regulasi di Indonesia. Mendirikan perusahaan Barometer Regulasi Indonesia (), bersama rekan Rixa Suryaputra, S.H., M.H, Kepala Divisi Hukum dan Kepatuhan BPJS Ketenagakerjaan periode 2013-2017, yang saat ini aktif sebagai Advokat Peradi. Selain itu bersama beberapa rekan mendirikan Asosiasi Perancang dan Peneliti Hukum Sosial (APPHS), tahun 2015. Penulis dapat di hubungi di alamat email : [email protected], kontak hp: 081286555275.

Asih Eka Putri menekuni jaminan sosial dan terlibat aktif dalam penyiapan reformasi jaminan sosial Indonesia sejak penyusunan UU SJSN pada tahun 2004. 

Ia mendirikan Konsultan Martabat, sebuah Konsultan Hukum dan Manajemen Jaminan Sosial dan Pelayanan Kesehatan pada tahun 2009 dan hingga kini menangani berbagai pemangku kepentingan jaminan sosial dan pelayanan kesehatan.  Sebelumnya, ia menjadi konsultan dan deputi Team Leader GVG Expert Team, sebuah konsultan jaminan sosial yang berkedudukan di Koln Jerman, untuk mendukung penyiapan implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).  

Pada 19 Oktober 2014 ia terpilih menjadi Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional dari unsur ahli untuk periode 2014-2019. Terlibat dalam perancangan berbagai peraturan pelaksanaan UU SJSN antara lain Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan Nasional, Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, dll. Memimpin kelompok kerja perumusan kebijakan jaminan sosial, strategic purchasing pelayanan kesehatan JKN, evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial kesehatan, dan persiapan perubahan UU SJSN dan UU BPJS.

Untuk berbagi informasi dan pengetahuan jaminan sosial kepada publik, ia mendirikan dua website (2009 hingga sekarang) yaitu www.jamsosindonesia.com dan jkn.jamsosindonesia.com .  Buku-buku tentang jaminan sosial telah diterbitkan yaitu  Transformasi Setengah Hati Jaminan Sosial (2014), Himpunan Lengkap Perturan Perundang-Undangan Jaminan Kesehatan Nasional (2014), Paham SJSN (2015), Paham JKN (2015), Paham BPJS (2015), Paham Transformasi Jaminan Sosial (2015).

Pendidikan formal diperoleh dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan lulus sebagai dokter umum (1992), Master of Public Policy and Management dari University of Southern California, USA (2001), serta Master Manajemen Bisnis Stratejik Universitas Prasetya Mulya Jakarta (2018).

Berbagai pengamatan dan kajian jaminan sosial dan pelayanan kesehatan di negara-negara transisi menjadi minat  dan memperkaya pemahamannya akan penyelenggaraan sistem jaminan sosial di negara-negara yang tengah bertransformasi menuju negara maju.  Melakukan penelitian jaminan kesehatan nasional di Korea (2004) dan Philippines (2003) atas dukungan Asian Scholarship Foundation –  Bangkok Thailand.  Studi komparasi dan pengamatan terus berlanjut hingga menjangkau negara-negara lain di kawasan Asia.  Sebagai anggota DJSN, ia melaksanakan monitoring, evaluasi dan penelitian/kajian penyelenggaraan program jaminan kesehatan dan program jaminan sosial, serta pengawasan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

AA Oka Mahendra, Sarjana Hukum lulusan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (1969), 26 tahun berkaraya di Senayan mewakili rakyat di DPR RI dan 20 tahun bertugas sebagai perancang peraturan perundang-undangan nasional dan berperan aktif mereformasi sistem hukum nasional.

Dari awal terbentuknya SJSN ia turut berperan aktif dalam melakukan kajian hukum mengenai SJSN. Bersama dengan Asih Eka Putri, ia telah menerbitkan dua buku yang membahas seputar SJSN yakni Implementasi Sistem Jaminan Sosial Naisonal: Transisi Badan Huum 4 BUMN Persero Menjadi BPJS (2011) dan Pedoman Hukum Jaminan Sosial: Transformasi Setengah Hati Persero – Askes, Jamsostek, Taspen dan Asabri ke BPJS menurut UU BPJS (2013) serta merumuskan naskah akademik Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Saat ini aktif merumuskan berbagai peraturan pelaksaan UU SJSN dan UU BPJS, serta melakukan kajian-kajian hukum jaminan sosial untuk Dewan Jaminan Sosial Nasional dan BPJS Kesehatan.

Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt., MBA, M.Kes. Lahir di Yogyakarta, pengajar di Fakultas Kedokteran Keperawatan Kesehatan Masyarakat (FK-KMK) UGM.  Saat ini menjabat sebagai Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan FK-KMK UGM. Aktif meneliti di bidang ekonomi kesehatan (health econimic). Menaruh perhatian pada isu-isu pembiayaan kesehatan di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui penelitian-penelitiannya antara lain: isa Penerapan E-Procurement Obat dengan Prosedur E-Purchasing Berdasar E-Catalogue di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah;  Evaluasi Pengelolaan Dana untuk Pemenuhan Kebutuhan Obat Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta pada Era JKN; Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biaya Obat Pasien Kanker Payudara di Rumah Sakit Indonesia.

Penerbit : Kanisius Jumlah Halaman: 284 Penulis: Adhi Kristian, Asih Eka Putri, Oka Mahendra, Diah Ayu Puspandari Kertas isi : HVS 70 gram Ukuran : 155 X 230 mm

Kenali Cara Meresensi Buku Nonfiksi Beda Dengan Buku Fiksi

Aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), merupakan aplikasi administrasi dan penyediaan informasi perkara baik untuk pihak internal pengadilan, maupun pihak eksternal pengadilan. Pengunjung dapat melakukan penelusuran data perkara (jadwal sidang sampai dengan putusan) melalui aplikasi ini.

Aplikasi yang disediakan oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, untuk melaporkan suatu perbuatan berindikasi pelanggaran yang terjadi di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia atau Peradilan dibawahnya.

Untuk Pelayanan yang lebih mudah, cepat dan biaya ringan, Ditjen Badan Peradilan Agama menyediakan Layanan Pembuatan Gugatan / Permohonan secara mandiri.

Pengadilan Agama memberikan kemudahan akses informasi jadwal sidang untuk para pihak berperkara.

Melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), anda akan mengetahui tahapan, status dan riwayat perkara.

Ditjen Badan Peradilan Agama menyediakan Layanan Pembuatan Gugatan/Permohonan secara mandiri.

Layanan Pendaftaran Perkara, Taksiran Panjar Biaya Perkara, Pembayaran dan Pemanggilan yang dilakukan Secara Online.

Paradikma Baru Penetapan Perwalian Anak pada Pengadilan Agama Berbasis pada Perlindundungan Hak anak

Upaya Intervensi di Pengadilan Agama Hakim Wajib Mengisi Kekosongan Hukum Materiil Maupun Hukum Formil

Dalam realitas kehidupan, ternyata putusnya perkawinan semakin lama semakin menjadi persoalan dalam masyarakat, karena di samping kasus perceraian semakin banyak, sebabnya pun semakin beragam dan kompleks. Meskipun diizinkan, perceraian tetaplah suatu perbuatan yang tidak dianjurkan dalam agama, terutama agama Islam yang menganggap perceraian sebagai “Perkara halal yang paling dibenci”.

Islam memang mengharapkan agar setiap perkawinan akan langgeng, sehingga berbagai aturan telah ditetapkan untuk menjaga kelanggengan itu. Seperti; dibimbing untuk memilih pasangan yang baik, diatur akad nikahnya, diatur pula hak dan kewajiban masing-masing pasangan, dan diajarkan pula tahapan penyelesaian masalah bila terjadi. Namun demikian, Islam tidak memungkiri bahwa ada pasangan yang mengalami kesulitan dalam kehidupan berumah-tangga, sehingga kebersamaan tidak lagi mendatangkan kebahagiaan, malah sebaliknya menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan. Karena itu, disamping Islam menyuruh memelihara kelanggengan perkawinan, juga membuka peluang kecil untuk keluar dari kesulitan perkawinan dengan membolehkan perceraian bila memang keadaan menuntut. Apabila kesulitan itu ada di pihak suami, dan persoalan itu tidak bisa terselesaikan, maka ia dibolehkan menempuh jalan “cerai talak”[1]. Sebaliknya, apabila istri yang merasa tersiksa di rumah tangga karena suaminya, maka ia dibenarkan mengajukan perceraian atau “

Bagaimana pelaksanaan perceraian dengan khuluk yang salah satunya tidak tercapai mufakat tentang tebusannya dan atau telah mufakat besar/jenis tebusannya.

menanggalkan dan melepaskan. Salah satu cara melepaskan ikatan perkawinan yang datangnya dari pihak istri dengan kesediaannya membayar ganti rugi. Terdapat beberapa definisi khuluk yang dikemukakan oleh ulama mazhab.

Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “melepaskan ikatan perkawinan yang tergantung kepada penerimaan istri dengan menggunakan lafal khuluk atau yang semakna dengannya”. Akibat akad ini baru berlaku apabila mendapat persetujuan istri dan mengisyaratkan adanya ganti rugi bagi pihak suami.

Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan khuluk dengan “talak dengan ganti rugi, baik datangnya dari istri maupun dari wali dan orang lain”. Artinya, aspek ganti rugi sangat menentukan akad ini di sam­ping lafal khuluk itu sendiri menghendaki terjadinya perpisahan suami istri tersebut dengan ganti rugi. Menurut mereka, apabila lafal yang digunakan ada­lah lafal talak, maka harus disebutkan ganti rugi. apabila yang digunakan adalah lafal khuluk maka tidak perlu disebutkan ganti rugi, karena lafal khuluk sudah mengandung pengertian ganti rugi.

Ulama Mazhab Syafil mendefinisikan khuluk dengan “perceraian antara suami istri dengan ganti rugi, baik dengan lafal talak maupun dengan lafal khuluk”. Contohnya, suami mengatakan pada istri­nya, “Saya talak engkau atau saya khuluk engkau dengan membayar ganti rugi kepada saya sebesar…,” lalu istri menerimanya[4].

Ulama Mazhab Hanbali mendefinisikannya de­ngan “tindakan suami menceraikan istrinya dengan ganti rugi yang diambil dari istri atau orang lain dengan menggunakan lafal khusus”. Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ulama Mazhab Hanbali membolehkan terjadinya khuluk tanpa ganti rugi. Tetapi pendapat ini tergolong lemah di kalangan ulama Hanbali. Adapun pendapat terkuat di kalang­an Mazhab Hanbali ialah bahwa dalam khuluk aspek ganti rugi merupakan rukun khuluk[5]. Oleh sebab itu, khuluk harus dengan ganti rugi dari pihak istri atau orang lain.

Dari empat definisi di atas, menurut Wahbah az-Zuhaili, ahli fikih di Universitas Damascus (Suriah), yang berlaku luas adalah yang dikemuka­kan ulama Mazhab karena sangat sesuai de­ngan pengertian bahasa dari kata khuluk itu sendiri. Singkatnya, sesungguhnya definisi khu­sus khulu’ membuat hilang berbagai hak istri. Definisi khulu’ menurut pendapat mazhab Ma­liki adalah, talak dengan

baik talak ini berasal dari istri maupun dari orang lain yang selain istri yang terdiri dari wali ataupun orang lain, atau talak yang diucapkan dengan lafal khulu’.

apa­apa. Misalnya si suami berkata kepada si istri, “Aku khulu’ kamu” atau “Kamu terkhulu’.” Dengan kata lain, si istri ataupun orang lain memberikan harta kepada si suami agar menalak si istri. Atau membuat jatuh hak si istri yang harus dipenuhi oleh si suami, maka dengan khulu’ ini jatuh talak ba’in[6].

Khuluk sebagai salah satu jalan keluar dari kemelut rumah tangga yang diajukan oleh pihak istri didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah

(2) ayat 229 yang artinya: “…Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya…” Alasan lain yang dikemukakan oleh ulama adalah sabda Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan al-Bukhari, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban tentang kasus istri Sabit bin Qais yang mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah SAW. Setelah Rasulullah SAW mendengar seluruh pengaduan tersebut, Rasulullah SAW bertanya: “Maukah kamu mengembalikan kebunnya (Sabit)?” Istri Sabit men­jawab: “Mau.” Lalu Rasulullah SAW berkata kepada Sabit bin Qais: “Ambillah kembali kebun engkau dan ceraikanlah ia satu kali.”[7]

Berdasarkan hadis ini, disunahkan seorang suami untuk mengabulkan permintaan istrinya. Tuntutan khuluk tersebut diajukan istri karena ia merasa tidak akan terpenuhi dan tercapai kebahagiaan di antara mereka, seperti yang diungkapkan oleh istri Sabit bin Qais dalam riwayat tersebut, yakni: “Saya tidak mencelanya karena agama dan akhlaknya, tetapi saya khawatir akan muncul suatu sikap yang tidak baik dari saya disebabkan pergaulannya yang tidak baik.” Alasannya adalah pergaulannya yang tidak serasi dengan suaminya. Agar keadaan tersebut tidak berlarut-larut sehingga dapat menjerumuskan rumah tangga mereka pada keadaan yang tidak diingini Islam, maka istri Sabit melihat lebih baik mereka bercerai. Dalam keadaan seperti itu, menurut Ibnu Qudamah, ahli fikih Mazhab Hanbali, keduanya lebih baik bercerai. Akan tetapi, jika istri tidak memiliki alasan yang jelas, maka ia tidak boleh mengajukan khuluk, karena Rasulullah SAW mengingatkan da­lam sabdanya: “Wanita mana saja yang menuntut cerai pada suaminya tanpa alasan, diharamkan bagi­nya bau surga” (HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi. Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Khuluk termasuk salah satu unsur alasan perceraian sebagaimana alasan-alasan perceraian dalam peraturan perundangan yaitu :

salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

sakah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga[8].

Menurut ulama fikih, penyebab ter­jadinya khuluk antara lain adalah munculnya sikap suami yang meremehkan istri dan enggan melayani istri hingga senantiasa membawa pertengkaran. Dalam keadaan seperti ini Islam memberikan jalan keluar bagi rumah tangga tersebut dengan menem­puh jalan khuluk. Inilah yang dimaksudkan Allah SWT dalam firman-Nya pada surah

akan nusyus atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamai­an itu lebih balk (bagi mereka)

…” Perdamaian dalam ayat ini dapat dilakukan dengan mengakhiri hubungan suami istri melalui perceraian atas per­mintaan istri dengan kesediaannya membayar ganti rugi atau mengembalikan mahar suami yang telah diberikan ketika akad nikah berlangsung. Alasan lain penyebab khuluk menurut Ibnu Qudamah adalah ketidakpuasan seorang istri dalam nafkah batin.

Syaikh as-Sa’di menyebutkan beberapa alasan seorang istri meminta khuluk, diantaranya adalah :

Istri tidak suka kepada fisik atau jasmani suami yang buruk, sebab bagusnya fisik merupakan perhiasan lahir.

Adanya kekhawatiran dari istri berupa ketidak mampuannya untuk menjalankan kewajibannya kepada suaminya, atau murka atau marah kepada suaminya[9].

Bagi suami : suami yang akan menceraikan istrinya dalam bentuk khuluk sebagaimana berlaku dalam talak, adalah seorang yang ucapannya telah diperhitungkan. Syaratnya adalah akil, baligh, dan bertindak atas kehendaknya sendiri dengan kesengajaan. Bila suami masih belum dewasa atau siuami dalam keadaan gila , maka yang akan menceraikan dengan khuluk adalah walinya. Demikian pula bila keadaan seseorang yang dibawah pengampuan (pengawasan) karena kebodohannya, maka yang menerima permintaan khuluk istri adalah wali

Bagi istri : ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah suami , dalam arti istrinya atau orang yang telah diceraikan , masih berada dalam iddah roj’i. Istri adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena untuk keperluan pengajuan khuluk ini, harus menyerahkan harta. Untuk syarat ini ia harus seorang yang telah baligh, berakal, tidak berada dibawah pengawasan , dan sudah cerdas bertindak atas harta[10].

Rukun khuluk menurut jumhur ulama selain Mazhab Hanafi adalah sebagai berikut :

Adanya ijab (pernyataan) dari pihak suami atau wakilnya, atau walinya jika suami masih kecil atau orang bodoh.

Adanya ganti rugi dari pihak istri atau orang lain. Ganti rugi ini tidak harus dinyatakan secara jelas apabila lafal yang digunakan adalah lafal khuluk, karena risiko khuluk itu adalah adanya ganti rugi dari pihak istri. Tetapi, jika yang digunakan adalah lafal selain khuluk, maka ganti rugi harus

Selanjutnya mengenai uang tebusan, mayoritas ulama menempatkan iwadh sebagai rukun yang tidak boleh dtinggalkan untuk sahnya khuluk. Mengenai sighat atau ucapan cerai , dalam hal ini tanpa menyebutkan nilai ganti , maka ia menjadi talak biasa[12].Oleh karena itu menurut penulis, bahwa para penulis Ensiklopedia Sains Islami menerapkan pasal 148 KHI dan sekaligus mengesampingkan pendapat Mahkamah Agung dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Agama Buku II 2013 halaman 151 yang menurutnya tidak bernyawa lagi atau para penulis Ensiklopedia Sains Islami belum pernah membaca pendapat Mahkamah Agung tersebut.

menjadi tidak sah tanpa adanya tebusan. Namun ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini; apakah

tetap sah walaupun tanpa adanya tebusan?. Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah

Yang Bukan Dimaksud Dengan Kepengarangan Dalam Resensi Buku Adalah - The Best Critical Thinkers

menjadi tidak sah tanpa adanya tebusan. Sedangkan menurut Hanafiyyah walaupun tanpa tebusan

. Namun demikian, ia mempunyai kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Persamaannya adalah: keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak isteri. Perbedaannya, yaitu cerai gugat tidak selamanya membayar

, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.

Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.

Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat

atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.

Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat 5.

Itulah gambaran penyelesaian secara umum, akan tetapi khuluk yang diatur dalam KHI tentu menurut penulis lebih sulit dalam eksekusinya sekalipun masalah tebusan sudah mufakat, terutama jika istri sekaligus mengajukan gugatan rekonpensi tentang pembagian harta bersama yang tidak sedikit jumlahnya. Kemungkinan juga suami sengaja menunda-nunda pelaksanaan ikrar, karena menurut pasal 148 KHI telah menunjuk penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat 5 KHI , berarti setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang perceraian dengan khuluk, sudah berkekuatan hukum tetap lalu suami dipanggil untuk mengikrarkan talak terhadap istrinya.

Cara Membuat Resensi Buku Ini Langkah Langkahnya

Mahkamah Agung dalam menangapi masalah penyelesaian perceraian dengan khuluk ini dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Agama Buku II 2013 halaman 151 menyatakan bahwa:

Talak khuluk merupakan gugatan istri untuk bercerai dari suaminya dengan tebusan. Proses penyelesaian gugatan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur cerai gugat dan harus diputus oleh hakim.

Amar putusan talak khuluk berbunyi : “Menjatuhkan talak satu khul’i ( nama———-bin—————) terhadap Penggugat ( nama————–binti ————-) dengan iwadh berupa uang sejumlah Rp—————( tulis dengan huruf———-) .

-tentang Iwadh tersebut dapat pula berupa uang , rumah atau benda lainnya secara bersama.

Ketentuan khuluk sebagaimana tersebut dalam pasal 148 KHI harus dikesampingkan pelaksanaannya. Gugatan khukuk tetap dilaksanakan sesuai ketentuan huruf a, b, dan c di atas[15].

Dari muatan pasal 148 KHI dan membandingkannya dengan pedoman Mahkamah Agung dalam Buku II 2013 halaman 151 tentu yang tepat dan relistis dalam proses penyelesaiannya agar mengikuti petunjuk Mahkamah Agung, karena itu penulis sepakat untuk mengesampingkan pasal 148 KHI sekalipun Mahkamah Agung sendiri menggunakan istilah Talak Khuluk, berikut ini tahapan yang harus dilakukan pihak istri dalam mengajukan perceraian dengan khuluk yaitu :

Setelah gugatan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri, sesuai dengan peraturan perundangan, istri maupun suami akan dipanggil oleh Pengadilan Agama untuk melaksanakan sidang pertama.

Dalam sidang pertama jika suami istri hadir , maka majelis hakim akan mendamaikan suami istri sesuai maksud pasal 130 HIR dan kalau tidak berhasil damai maka suami istri diperintahkan untuk mengikuti proses mediasi sesuai Perma Nomor 01 tahun 2016 tentang proses mediasi di Pengadilan.

Dalam mediasi harus ada iktikad baik dari suami istri untuk menyelesaikan masalahnya terutama kalau ada inisiatif istri untuk melakukan perceraian dengan khuluk karenanya, setelah tidak berhasil damai, mediator berusaha mengarahkan agar terjadi kesepakatan tentang tebusannya.

Mediator melaporkan secara tertulis kepada ketua majelis hakim tentang pelaksanaan mediasi apakah berhasil atau tidak.

Kalau masalah tebusan tidak terjadi sekepakatan baik dalam mediasi maupun dalam persidangan maka prosesnya dilakukan sebagaimana memeriksa perkara cerai gugat dengan tahapan-tahapan jawab menjawab, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan dan musyawarah hakim untuk membacakan putusan.

Berbeda dengan penyelesaian menurut Mahkamah Agung yang langsung memberlakukan putusannya, memudahkan eksekusi dan tidak perlu ada ketergantungan suami sehingga cara seperiti inilah yang telah dipilih Mahkamah Agung, kan sudah jelas tujuan perceraian dengan khuluk sudah tercapai kenapa harus ada ikrar suami itulah mungkin pertimbangan Mahkamah Agung kenapa mengesampingkan proses 148 KHI.

Selanjutnya ternyata belum berhenti pada putusan khuluk belaka akan tetapi ada masalah lain yang mengikutinya yaitu :

tidak terikat dengan waktu tertentu[16], untuk itu boleh dilakukan diwaktu suci atau haidh, hal ini berbeda dengan talak yang diharamkan untuk dilakukan di saat haidh. Yang demikian itu dimaksudkan agar suami tidak mengulur-ulur waktu

adalah permintaan istri untuk menghilangkan “bahaya” yang dialaminya. Begitu juga karena Rasululllah Saw. tidak menanyakan keadaan

dari suaminya) apakah ia saat itu dalam keadaan suci atau haidh. Dan tidak adanya dalil yang mengatakan tidak boleh meminta

Sah khulu’ yang dilakukan oleh orang yang sedang sakit parah[17]. Karena jika dia menjatuhkan talak yang tidak memiliki

Juga karena ahli warisnya tidak akan mendapatkan kerugi­an apa-apa dengan tindakan khulu’nya.

Mazhab Maliki mengungkapkan me­ngenai hal ini dengan pendapat mereka, terlaksana khulu’ yang dilakukan oleh orang yang tengah terkena penyakit yang mengkhawatirkan. Sebagai isyarat bahwa secara prinsipil mereka tidak mengharam­kan talak pada masa ini yang menyebab­kan keluarnya ahli waris.

Menurut pendapat yang masyhur, istri yang dia khulu’ pada masa dia sakit mendapatkan warisan dari suami jika suami meninggal dunia pada masa khulu’ ini akibat penyakit yang mengkhawatir­kan. Meskipun masa iddahnya telah sele­sai, dan dia kawin lagi dengan orang lain. Sedangkan istri tidak mewarisi suami­nya jika istri meninggal dunia sebelum suami pada masa suami sakit, meski­pun istri tengah sakit pada saat terjadi khulu’; karena suamilah yang membuat hilang apa yang seharusnya berhak untuk dia dapatkan.

Demikian juga Setiap pasangan suami istri atau salah satu dari keduanya berhak untuk mewakil­kan orang lain dalam khuluk[18].

(meyakinkan bahwa dalam rahimnya tidak ada janin/kandungan). Namun berapakah tempo

?, ulama telah berbeda pendapat dalam hal ini. Salah satunya adalah pendapat Jumhur ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) yang mengatakan bahwa

(tiga kali haid). Landasannya adalah firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah ayat 228:

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”.

Selain pendapat jumhur, terdapat juga pendapat kedua yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ustman bin Affan, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa

adalah cukup dengan satu kali haidh. Dalilnya yaitu; sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah Saw. telah menjadikan

Ulama telah berbeda pendapat. Menurut Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafii’yyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan bahwa

Konsekuensi dari perbedaan pendapat di atas dapat terlihat ketika seorang suami telah men-

tiga, yang berarti suami tidak lagi halal untuk merujuk kembali istrinya, kecuali wanita tersebut telah menikah dengan laki-laki lain kemudian diceraikan.

, maka suami tersebut berhak untuk merujuk istrinya, meskipun wanita tersebut belum menikah lagi dengan laki-laki lain, apabila sudah habis masa

Tidak ada rujuk bagi seorang suami dari seorang istri yang telah pisah dengan sebab

. Jika dia menginginkan kembali kepada isterinya maka harus dengan akad pernikahan dan mahar yang baru.

istri tidak bisa dirujuk, berakhir dengan takak ba’in, kalau ingin rujuk harus menikah baru lagi, berlaku pasal 161 Kompasi Hukum Islam.

tentang akibat hukum terhadap anak atau anak-anaknya sama dengan akibat hukum yang telah diatur dalam pasal 149 huruf d kompilasi hukuk Islam (memberikan biaya hadhanah untuk anakanaknya yang belum mencapai umur 21 tahun).

Penyelesaian pasal 148 KHI berakhir dengan ikrar talak dari suami, sedangkan penyelesaian Mahkamah Agung amarnya : “Menjatuhkan talak satu khul’i ( nama———-bin—————) terhadap Penggugat ( nama————–binti ————-) dengan iwadh berupa uang sejumlah Rp—————( tulis dengan huruf———-) .dan keduanya berakhir dengan talak ba’in.

Bahwa semua bentuk perceraian di Indonesia harus melalui institusi yang berwenang termasuk perceraian dengan khuluk.

Demikianlah tulisan tentang PENYELESAIAN PERCERAIAN DENGAN KHULU’ DAN AKIBAT HUKUMNYA, semoga banyak manfaatnya dan mohon maaf segala kekurangan dalam tulisan ini, terimakasih.

[4] Ensiklopedi Hukum Islam, Jiiid 3, PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE, Jakarta, Cet.ke7, 2006, hal. 932.

[5] Wahbah Azzuhaili, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu, Juz 7, Darl fikr, Damaskus, 2008, hal. 459.

[8] Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, Jo.Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

[9] Yurisprudensi Ensiklopedia Sains Islami, jilid 8, Kamil Pustaka,Pebruari 2018, hal.29.

[12] Ibid, hal. 31.Jo. Wahbah Azzuhaili, Alfiqhul Islami Wa Adillatuhu, Juz 7, Loc.cit

[14] Sudono, dalam buku Senarai Pembaharuan Hukum Peradilan Agama Kajian Hukum Formil dan Materiil, Edisi Revisi, PTA. Surabaya, 2014, Hal. 134.

[15] Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, Edisi Revisi, 2013 halaman 151

[16] Syeh Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Juz 2, Darl Fikr, Bairut Lebanon, 1992/1412, hal. 257.

Syarat dan tata cara pengaduan mengacu pada Lampiran Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 076/KMA/SK/VI/2009 tanggal 4 Juni 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan Pengaduan di Lingkungan Lembaga Peradilan.

Secara umum tatacara memperoleh layanan informasi adalah sebagai berikut a. Prosedur Biasa; dan b. Prosedur Khusus. a. Permohonan disampaikan secara tidak langsung, baik melalui surat atau media elektronik; b. Informasi yang diminta bervolume besar; c. Informasi yang diminta belum tersedia; atau d. Informasi yang diminta adalah informasi yang tidak secara tegas termasuk dalam kategori informasi yang harus diumumkan atau informasi yang harus tersedia setiap saat dan dapat diakses publik

Seiring kemajuan teknologi dan tuntutan masyarakat dalam hal pelayanan, unit penyelenggara pelayanan publik dituntut untuk memenuhi harapan masyarakat dalam melakukan perbaikan pelayanan

Aplikasi SMS Info Perkara bagi para pihak berperkara untuk mengecek data perkara melalui SMS.Aplikasi ini menginformasikan Jadwal Sidang, Keuangan Perkara, Tanggal Putusan, Akta Cerai

This email address is being protected from spambots. You need aScript enabled to view it.